Begitu pelajaran bahasa Indonesia selesai, kami melangkah ke arah lapangan bola voli. Aku berjalan beriringan dengan Ida. David sudah mengambil posisi bersama Iwan, Josep dan yang lainnya untuk bermain voli.
"David ganteng juga kalau lagi keringatan cem gitu ya," ucap Ida. Aku berdecak kemudian mendorong lengannya pelan.
"Nggak sadar kau, ngomong sama pacarnya?" tanyaku. Ida tertawa kecil. David memang sudah ngomong dengan yang lain, kalau kami sudah berpacaran.
"Padahal, dulu kau paling benci sama dia. Sekarang jadi paling sayang." Ida mencibir sembari tertawa kecil.
Aku asik melihat David, hingga beberapa menit kemudian, dia berhenti bermain dan berjalan ke arahku. Ida yang tau kondisi, segera pergi berbaur dengan teman-teman yang lain.
Aku menyodorkan air mineral yang ku bawa dari rumah. Dia menerimanya, meneguknya hingga habis setengah.
Dia membersihkan keringat di wajahnya dengan kaos yang di kenakannya. Aku kembali sibuk dengan pikiranku. Tentang kejadian kemarin, saat seng rumah bocor. Bapak benar-benar sangat bersikeras untuk tidak mengijinkan aku berkuliah jauh. Bagaimana bisa aku mewujudkan mimpiku seperti ini?
Dukungan dari orang tua saja tidak ada. Aku sadar, jika aku berkuliah di universitas yang berada di provinsi sumatera, itu tidak jadi masalah. Namun, sejak kecil aku sudah bercita-cita berkuliah di universitas ternama di Indonesia. Dan universitas itu, tidak berada di provinsi sumatera.
Aku menghela napas dalam-dalam. Mungkin jika Mama masih hidup, dia tidak akan melarang ku pergi jauh, dan jika mungkin, aku bisa memiliki saudara yang bisa menjaga Bapak dan Mama di Toba.
Sebuah usapan mendarat di punggung tanganku. Aku segera tersadar dari lamunanku. Ku lihat David yang juga tengah menatapku.
"Ada masalah?" tanyanya. Aku menggeleng cepat. David kembali mengusap tanganku. "Kalau ada masalah, ngomong ke aku. Supaya kau nggak terbeban sendirian."
Aku tersenyum seraya mengangguk. Saat itu pula, David merangkulku. Buru-buru ku lepas. "Malu David! Ini masih di sekolah!" seruku. David tertawa lepas kemudian melepaskan rangkulannya.
Tawa David membuatku ikut-ikutan tergelak. Dan saat itu pula, tawaku terhenti saat laki-laki yang baru ku temui di perpustakaan melintas dari hadapanku.
Dan dia, menatapku barusan. Tidak lama, hanya sepersekian detik. David sadar mengapa aku mendadak menghentikan tawa ternyata.
"Kau, kenal dia?" tanyanya.
Aku menatap David. "Siapa?" Aku balik bertanya. "Yang barusan lewat," jawabnya.
"Ouh. Enggak. Aku nggak kenal dia. Cuman, kami sering berpapasan aja."
Jawabanku barusan membuat David mengangguk-angguk. "Kau kenal?" tanyaku. Mungkin sedikit membuat David bingung atas pertanyaan ku.
"Enggak. Tapi, kata Iwan dia jago voli. Namanya Kean."
"Oh, ya?"
"Iyaa."
***
Seperti biasa, aku pulang di antarkan oleh David. Bahkan David bertemu Bang Tobok dan Bapak yang hendak pergi ke ladang untuk bekerja.
Aku turun dari atas motor, di ikuti oleh David yang juga turun dan memarkirkan motornya di depan rumah. Bapak menatap kami berdua bergantian.
"Bapak sama bang Tobok udah makan?" tanyaku. Sekedar basa-basi. Bapak mengangguk, begitu juga dengan Bang Tobok.
"Kau ajak si David makan. Bapak tadi beli daging babi," ucapnya antusias. Aku seketika mematung, kemudian melirik David yang hanya tersenyum canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Ficção Adolescente"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...