Berulang kali aku mengecek jam tanganku. Sudah jam segini, taksi yang ku pesan belum juga muncul. Ini sudah hampir jam sebelas malam. Mana hujan lagi. Bukan ide yang baik jika aku harus menikmati malam ini di rumah sakit. Yang ada, aku tak akan bisa tidur karena suara-suara aneh seperti beberapa malam yang lalu saat aku lembur.
Kau bisa membayangkannya kan? Bagaimana ngerinya rumah sakit malam-malam. Suara keran air yang menyala sendiri. Bunyi kursi roda yang di dorong, ketukan pintu oleh orang yang tak di kenal. Itu benar-benar peristiwa yang sangat buruk.
"Bu Dokter."
Aku menoleh kecil saat seorang satpam berjalan ke arahku.
"Belom pulang, Bu?" tanya dia. Aku mengangguk pelan.
"Nungguin taksi, Pak. Udah sejam lebih nggak datang-datang. Kalau saya cancel nanti, kasihan sopir taksinya kalau datang. Udah langganan juga lagi. Nggak biasanya kayak begini."
"Biar saya aja yang nganter, gimana Bu?"
Aku mengernyit. "Nganter pakai apa? Bapak kan bawa motor," ujarku.
"Pakai mobil ambulan."
Segera aku menggeleng. "Nggak usah, Pak. Makasih." Ya kali aku pulang dengan ambulan.
"Tapi kan Dok, sirene nya bisa di matikan." Dia kembali mengelak.
Ya sama aja seram. Bayangkan jika ada yang ngetok-ngetok di belakang, ngeri dong? Salahkan jika aku terlahir sebagai dokter penakut. Tapi, emangnya dokter nggak bisa penakut ya? Aku ingin menjadi dokter karena menurut ku, itu pekerjaan yang mulia. Bisa terlihat keren juga dengan jas putih dan sneli di leher. Tapi, kalau peristiwa mistis kayak begini, aku juga takut kali.
Hujan semakin keras. Pak satpam memilih untuk kembali ke pos setelah ku tolak. Apa sebaiknya aku menghubungi Bang Dion? Siapa tau dia sedang tugas di sekitar sini.
Dengan ragu-ragu, aku mengetik namanya di layar ponselku. Tadi sudah sempat ku simpan setelah dia menghubungi nomorku sekali.
Panggilan terhubung.
"Halo, Dek?"
Jantungku berdegup sangat kencang begitu mendengar suaranya yang seperti baru terbangun itu. Sepertinya dosaku bertambah karena sudah mengganggunya tidur.
"Dek? Kenapa telepon?"
Aku buru-buru menggeleng untuk menyudahi adegan gugup ini.
"Bang. Bang Dion lagi sibuk?" tanyaku pada akhirnya.
"Enggak. Saya baru aja bangun. Kenapa, Dek?"
"Emm, nggak masalah kalau saya ganggu sebentar?"
"Hm?"
"Bang Dion boleh jemput saya ke rumah sakit? Tapi kalau nggak boleh, nggak apa-apa. Saya bisa—"
"Bisa, Dek. Kamu tunggu aja."
Setelah itu, panggilan telepon segera berakhir. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih lagi. Beberapa menit setelah itu, Bang Dion datang. Bersamaan dengan taksi yang ku pesan.
"Mbak, maafin saya ya. Tadi mobil saya bannya kempes. Saya harus cari-cari bengkel." Laki-laki paruh baya itu, menghampiri aku dengan berulang kali menunduk merasa bersalah.
Bang Dion turun dari mobilnya dengan payung di genggamannya. Aku meliriknya.
"Bang Dion, maafin saya ya? Tapi taksinya baru aja datang. Kasihan sopirnya kalau saya cancel—"
"Pak, ongkosnya berapa? Biar saya yang bayar." Bang Dion memberikan selembar uang seratus.
"Loh, ini nggak apa-apa teh?" tanya sang sopir. Bang Dion menggeleng. "Biar saya aja yang nganter. Bapak bisa langsung jalan aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Novela Juvenil"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...