Kami menyiapkan seluruh masakan hari ini. Tentunya dengan saling bekerja sama. Suara ketukan pintu membuat ku segera menoleh. Aku berlari kemudian mengintip dari jendela. Ternyata bapak. Aku segera menginformasikan pada David untuk bersiap-siap. David segera mengangguk, kemudian mengangkat masakan tersebut, kemudian membawanya ke depan. Sementara aku membukakan pintu.
Clek
Begitu pintu terbuka. Segera kami melantunkan lagu selamat ulang tahun. "Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat ulang, selamat ulang. Selamat ulang tahun!"
Bapak kaget. Namun dia tetap berjalan lebih dekat ke arah kami. Dia hendak berbicara, namun tiba-tiba Bapak menyentuh jantungnya. Wajahnya berubah kesakitan. Aku menatapnya cemas, begitu Bapak jatuh begitu saja ke lantai. Dia tak sadarkan diri.
"BAPAK!" Teriakku begitu saja.
Masakan yang di pegang David, segera ia letakkan. Dia segera menggendong bapak. "Kita bawa ke rumah sakit!" serunya. Aku mengangguk menanggapi.
David membawanya keluar. Sementara aku dengan panik, mengunci pintu.
***
"Harusnya, ini hari ulang tahun terbaik buat Bapak." Aku menyeka air mataku. Aku mengambil secarik kertas di dalam saku. Hari ulang tahun Bapak. Ku bawa ke mana-mana agar aku tidak lupa. Hatiku benar-benar terpukul. Aku meremas keras kertas tersebut. Hari ini usia Bapak 42. Air mataku tak bisa ku kontrol. Aku kembali menangis. Tak peduli jika ada orang yang melihatku.
David yang sedari tadi mondar mandir, karena khawatir kembali duduk di bangku tunggu. Di sebelahku. "Hey. Jangan khawatir. Semuanya bakalan baik-baik aja."
"Gimana aku nggak khawatir, hah? Bapak tiba-tiba jatuh!" Aku meremas rambutku. "Aku takut Bapak kenapa-kenapa, Dav!"
David segera menarikku ke dalam dekapannya. "Apapun yang terjadi, kita jalani bareng-bareng." Dia mengusap-usap lenganku. Aku mengangguk, kemudian menyembunyikan kepalaku di dada bidangnya.
Dokter segera keluar. Aku dan David segera bangkit. "Gimana, Dok?" tanya David cepat. "Apa kalian berdua keluarga pasien?" tanya dokter. David tidak menjawab apa-apa. Segera aku mengangguk seraya berucap, "Iya. Kami anaknya."
"Baik kalau begitu, ikut saya ke ruangan saya sebentar. Ada yang perlu kita bicarakan." Aku dan David segera mengangguk.
Begitu kami sampai di ruangan dokter tersebut, kami di persilahkan duduk. Aku dan David duduk bersebelahan. Sedari tadi jantungku tidak aman. Aku benar-benar takut. "Bagaimana, Dok?" tanya David.
Dokter tersebut menghela napasnya. "Begini. Pasien sepertinya mengalami gejala sakit jantung."
Hatiku seketika mencelos begitu mendengarnya. "Pasien tidak boleh terlalu lelah bekerja."
Aku melirik David. David segera menyentuh tanganku di bawah. Mengelusnya pelan, seolah-olah dia berucap untuk tidak khawatir.
"Tapi tak usah khawatir. Kalau pola makan di jaga, tidak terlalu kelelahan, tidak banyak pikiran, puji Tuhan nanti juga akan sembuh."
Tetap saja aku khawatir!
Dokter tersebut kembali berucap. "Adek-adek nggak perlu terlalu khawatir. Berserah kepada Tuhan lebih utama," katanya. David tersenyum simpul. "Makasih, Dok. Kalau begitu, kami permisi dulu," ucap David. Dokter tersebut mengangguk, seraya tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...