Dengan satu tarikan napas, aku melangkahkan kakiku ke dalam bus. Hari ini, aku akan berangkat ke Tanggerang, berbekal sepuluh juta rupiah dari Bapak. Mengenai ongkos keberangkatanku, sudah di biayai oleh pemerintah. Aku sangat bersyukur bisa mendapatkan beasiswa ini.
Ini awal Agustus. Dan sebentar lagi, tahun ajaran semester ganjil untuk para mahasiswa akan berlangsung. Aku melambaikan tanganku pada Bapak. Dia tampak berat hati melepaskan aku hidup di Jawa sendirian.
Benar-benar tanpa sanak keluarga.
Bus mulai berjalan, napasku semakin tercekat. Mulai hari ini aku akan meninggalkan tempat kelahiranku. Air mataku menetes berulang kali. Sedih sekali rasanya harus meninggalkan negeri kepingan surga ini. Lantas bagaimana lagi?
Hidup akan terus berjalan, dan aku tidak mungkin melulu di sini.
Bus berhenti mendadak. Aku mengernyit kecil saat melihat seseorang masuk ke dalam, kemudian-melangkah ke bangku sebelahku. Setelah itu, bus kembali melintasi jalanan Simanindo.
Aku asik memperhatikan hamparan sawah melalui kaca, hingga orang yang di sebelahku berceletuk. "Mau ke mana, Dek?" tanya dia. Aku menoleh.
Dia menatapku. Pupil mata coklat itu tampak kentara. Alis matanya persis seperti dua kubu rerumputan di tengah padang, yang berikrar akan berjumpa di akar hidung. Aku bahkan merasa iri hati, mengapa pria berjaket hijau tua ini, di karuniai Tuhan dengan alis sebagus ini.
Ah dia memakai masker hitam. Aku tak bisa mengenalinya. Hanya saja-mata itu tampak familiar.
Dia tampak melambaikan tangannya berulang kali di depan wajahku. "Halo?" sahutnya.
Aku tiba-tiba gelagapan. Terlihat sangat tolol. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Maaf-maaf. Kenapa tadi?" tanyaku.
Dia tertawa kecil, tawa yang terdengar seperti sebuah kidung saking merdunya. Ya Tuhan, bolehkah Engkau mengenalkan aku pada ayahnya? Mengapa dia tampak sangat sempurna?
Dia melepaskan maskernya. Lagi! Aku sangat terkejut di buatnya.
"Kamu-bukannya cewek cengeng di rumah sakit hari itu ya?"
Aku mengernyit. Apa kami pernah bertemu? Dan, mengapa dia menyebutku cengeng?
Dia kembali tertawa sembari mengulurkan tangannya. "Saya Michael Dion panjaitan. Biasanya di panggil Dion. Adeknya?"
Aku mengerjap berulang kali. Dia sedang mengajakku berkenalan?
"Sa-saya, Uli. Rouli Sagala." Ku Terima uluran tangannya singkat.
Dia tampak kaget. "Ibu saya juga marga Sagala," katanya excited.
Aku hanya tertawa canggung.
"Kalau orang Batak bilang, itu berarti kita pariban ya?" Kembali dia berucap. Aku mengangguk kecil.
"Kamu mau ke mana?" tanya dia kemudian.
"Tanggerang." Singkat, padat dan jelas.
"Oh tanggerang. Kampung saya ada di Depok. Tapi saya juga sering main ke Tanggerang karena ada tugas."
Aku kembali mengangguk untuk menanggapinya.
"Sebenarnya, saya ada di sini karena lagi ada tugas. Bulan depan, saya bakalan pindah lagi ke Depok."
Aku kembali mengangguk menanggapinya. Dia banyak bercerita banyak hal di bus. Yah, lumayan lah. Perjalananku tidak terlalu monoton dan menyedihkan.
Salah satunya, dia menceritakan kampung halamannya di Depok. Tidak terlalu jauh dari Tanggerang deh. Hanya berkisar puluhan kilometer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...