Mengapa jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang? Ida menyenggol lenganku. "Demi apa kau bisa juara satu? Hahahaha. Hebat kali bodat ku ini bahh." Dia memelukku bangga. Aku hanya tertawa kecil.
Setelah pelukan itu terlepas, aku melirik David yang juga tengah berbincang dengan Iwan dan Joseb. Mereka berulang kali menepuk-nepuk bahu David bangga.
Beberapa menit setelah Ida pergi menemui Orang tuanya, aku kaget saat Maminya David datang menghampiriku.
Dia tersenyum semringah. "Selamat yah," katanya. Aku benar-benar bingung ingin menanggapinya dengan kalimat apa, sehingga aku hanya bisa tersenyum canggung. Dari belakang sana, David terlihat berlari tergopoh-gopoh ke arah kami.
Wajahnya benar-benar panik.
Maminya David kembali berujar. "Oh iya, maafin saya atas kejadian tak mengenakkan di rumah sakit," ujarnya.
Lagi, aku hanya bisa tersenyum canggung. David buru-buru berbicara saat dia sampai ke tempat kami. "Mami ngapain di sini?" tanyanya dengan napas naik turun.
Maminya David berdecih. "Memangnya salah kalau Mami ngobrol sama siswi berprestasi di ruangan kelas kamu?" tanyanya. Aku bisa melihat jelas David seperti tersenyum lega.
Mami David pada akhirnya pergi karena anak di gendongannya agak rewel dan menangis. Dia segera pamit untuk pergi.
Kini hanya ada aku dan David. Dia menatapku lekat kemudian berucap, "Selamat Uli. Aku—aku sangat bangga sama kau," sahutnya. Dan tebak sekuat apa jantungku berdegup.
"Ngomong-omong, hari ini kau cantik." Lagi, dia berucap. Aku kembali mematung.
"David!"
Itu panggilan dari Iwan. Aku dan David menoleh serentak.
"Sri cariin kau," sahutnya. Aku melihat perempuan berhijab dengan kebaya biru tua dan blus coklat tua berjalan di belakang Iwan dengan senyum mengembang.
Sri, dia—dia anak kelas sebelas. Dan dia sengaja datang ke sini untuk bertemu David? Jelas-jelas hari kelulusan hanya untuk anak kelas tiga dan para orang tua. Dan dia—ah wajarkah aku marah tentang itu? Bukankah ini berada di luar hak ku? Pada akhirnya aku pergi menemui Bapak, Bou Rifka dan Bang Tobok.
***
Aku duduk dengan Ida di sebuah bangku kayu. Ida menikmati nasi kotak miliknya, sementara aku hanya mengayun-ayunkan kakiku karena sedang tidak nafsu makan. Beberapa orang tua sudah memilih pulang. Termasuk Bapak, Bou Rifka dan Bang Tobok. Tentu saja kami sudah berfoto tadi.
Bapak ingin segera pulang karena masih ada pekerjaan di ladang. Sedari tadi ku perhatikan, ternyata Maminya David juga sudah pulang. Mulai tadi, dia sibuk menenangkan Dimas yang menangis di gendongannya.
"Agoh tahe, Dapiddd! Nggak sekalian kau makan piring kau itu? Kalap kali anak ini makan!" Itu ocehan Romian. Aku memusatkan perhatianku pada mereka. David, Joseb, Iwan, Romian, dan beberapa siswi sekelasku.
Joseb bergumam pelan sembari menikmati nasi miliknya. "Bebek gulainya enak kali bah. Gini kek terus," katanya.
David mengangguk menanggapi. "Betol kau, Jos. Daging bebek nya empuk. Hahahaha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...