#Blue Shoes

392 151 20
                                    

Begitu kami keluar dari dalam ruangan kelas, saat bel pertanda istirahat berbunyi,  mading sekolah sudah di kelilingi banyak siswa-siswi. Dengan penasaran penuh, aku dan Ida segera menerobos masuk.

"Hindari hamil di luar nikah," Ida membacanya cukup kuat, yang membuatku memukul bahu Ida kesal. "Suara kau itu lah!" kataku, yang membuat Ida tertawa kecil.

Kami berdua memandang poster tersebut lamat-lamat. "Emang ada kejadiannya di sekolah ini?" tanyaku. Ida mengedikkan bahunya tak tahu.

Aku dan Ida memilih untuk pergi ke kantin untuk menikmati gorengan panas Tulang Dippos. Baru kami duduk di bangku, seorang laki-laki malah meletakkan sebuah kertas di meja.

Aku mengernyitkan dahi, kemudian meraih kertas tersebut. Tulisan dari orang yang sama.

       Semalam, senja sedang bagus
       Burung bangau terbang menuju asalnya
       Anak-anak desa masuk ke dalam rumah
       Sesuatu terbesit di pikiranku
       Kau, apa kabar? Apakah sekarang, kau
       memandang  senja yang sama seperti aku?

Sebenarnya, siapa yang menuliskan surat ini? Aku segera berbalik. Orang itu sudah tidak ada di sini. Aku berdecak sebal. Benar-benar tak suka teka-teki menyebalkan seperti ini. Pada akhirnya, Ida bertanya.

“Kau kenapa, dah?” tanya dia. Aku menggeleng kecil.

“Em, kau tunggu aku sebentar. Aku ke kamar mandi dulu,” ucapku.

Ida hanya mengangguk. Aku mencari-cari laki-laki tadi. Sepertinya, kalau tak salah lihat dia memakai gelang hitam. Aku melihat pergelangan tangannya dengan jelas tadi. Bukannya ke kamar mandi, aku pergi mencari-cari laki-laki yang memakai gelang hitam. Tapi sialnya, banyak yang memakai gelang hitam di sini. Mustahil aku tahu siapa pelakunya.

“Uli!”

Panggilan itu membuat aku menoleh.  Dia Dame. Anggota paskibra yang sebelumnya pernah berkawan dekat denganku. Ah rasanya kami sudah tak pernah berbincang lagi, padahal kami sama sekali tidak pernah bermusuhan.

Perempuan berambut sebahu dengan tinggi 175cm itu, berjalan ke arahku. “Ngapain kau?” tanya dia.

Aku dengan cepat menunjukkan tulisan di kertas itu. “Kau tau nggak, siapa yang nulis ini?” tanyaku. Dia menerima kertas tersebut. “Mana tau aku, Uli. Banyak yang punya tulisan kayak gini,” Dia mengatakannya dengan tawa di akhir kalimatnya.

Aku menghela napas berat. Bodoh juga aku bertanya hal seperti ini pada orang lain. Tapi, aku sudah terlalu penasaran. “Ini surat apa?” tanya dia.

“Kata-kata puitis mungkin? Aku udah dua kali dapat surat kayak gini. Kalau sekali aja, aku masih bisa anggap itu candaan doang. Ini udah kedua kali. Penasaran kali loh aku,” kataku.

Dia tertawa kecil. “Bukan Dame namanya kalau nggak kasih solusi,” ucapnya yang membuatku mengernyitkan dahi.

“Kayanya, yang nulis surat ini, suka sama kau.” Dame berucap. Aku menghela napas kesal. “Kalau dia suka, nggak usah buat penasaran kayak gini lah. Lebay,” ucapku.

Dame tertawa. “Bukan masalah lebay atau enggak. Mungkin dia buat surat gitu, supaya kau semakin penasaran dan pada akhirnya, waktu kalian kenal, peristiwa ini nggak bakal kau lupa.”

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Lihat besok lah. Siapa tau dia ngasih surat lagi,” ucapku. Dame mengangguk mengiyakan. “Kalau kau dapat surat lagi, kau beri tahu aku. Siapa tau aku bisa kasih solusi,” ucapnya. Aku hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman. Dame melangkah menjauh.

Baru aku berbalik, David malah muncul di hadapanku yang membuatku menyentuh dada karena kaget. “Kau ini!” seruku kesal. David tersenyum simpul. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba dia merangkulku, yang membuat aku kebingungan.

Because Of Fate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang