Tampaknya Bapak, Bang Tobok dan istrinya Kak Ratih, menyambut Bang Dion dengan baik. Kak Ratih ternyata sangat pandai memasak. Dia memasakkan banyak makanan untuk kami semua. Pantesan saja Bang Tobok jatuh cinta.
Ah aku jadi teringat pada Ida. Apa dia sudah melupakan Bang Tobok? Ku harap dia bisa bertemu dengan laki-laki baik di luar sana.
Bapak dengan semangat empat lima, langsung bertanya tentang, kapan kiranya kami akan melakukan pernikahan.
Aku tau mengapa Bapak begitu semangat. Dia ingin segera memiliki seorang cucu. Hahaha, aku tak tau bagaimana ke depannya. Yang jelas, aku juga belum mengenal keluarga Bang Dion.
Bapak sangat senang saat dia tahu kalau Bang Dion adalah seorang polisi. Keinginannya sejak dulu kan, ingin memiliki menantu seorang polisi. Bayangkan betapa hebohnya dia.
Bang Tobok juga cukup dekat Bang Dion. Padahal, mereka baru saja bertemu. Tapi sudah seperti saling mengenal sejak dulu. Apa semua laki-laki memang seperti itu?
Aku merasa malu saat Bang Tobok mengatakan jika masakanku enak, sehingga Bang Dion buru-buru ingin merasakan masakanku. Ah, ini membuatku merasa sangat gugup. Bang Tobok terlalu berlebihan memuji.
Bapak mengajak Bang Dion bermain catur. Bapak senang, karena dia lebih unggul dari Bang Dion. Berbeda saat dia bermain dengan David, dan selalu kalah karenanya. Dia juga bercerita banyak hal tentang aku, Mamak, dan banyak hal lagi. Sepertinya sosok David di keluarga ini, benar-benar sudah di gantikan oleh Bang Dion.
Mungkin, aku harus merelakan semua hal yang sudah terjadi. Barangkali bisa di jadikan sebagai pembelajaran hidup. Bang Dion tampaknya sudah sangat serius untuk hubungan ini. Kami sudah sama-sama dewasa. Sudah tau mana yang terbaik. Bagaimana ke depannya, aku hanya bisa berharap. Semoga tidak mengecewakan.
Malam ini, ketika Bapak memilih untuk beristirahat di kamar, Bang Tobok dan Kak Ratih yang sudah pulang ke rumah, aku dan Bang Dion duduk berdua di kamarku. Ah, jangan berpikiran macam-macam. Kami hanya berbincang-bincang, tentang aku saat SMA dulu, bahkan Bang Dion sedang membolak-balikan buku harianku kini.
Ternyata kamar ini masih terawat hingga sekarang. Bahkan posisi kasur, bantal dan selimut masih tetap sama seperti kapan terakhir kali aku meninggalkan kamar ini.
"Hmm, jadi nama laki-laki yang kamu suka itu David yaaa."
Aku hanya mengangguk kecil. "Dia juga ambil akademi Kepolisian ya? Sekarang dia di tempatkan di mana?" tanya Bang Dion.
"Nggak tau. Tapi kayanya dia ada di Bali sekarang. Soalnya dia nikah sama orang sana."
Bang Dion menganguk-angguk. "Kamu suka kangen nggak sama dia?" tanyannya tiba-tiba, membuatku tak bisa berkata-kata.
Yaaa, ku akui aku masih sering mengingatnya. Bahkan mungkin, sampai detik ini aku masih menaruh hati padanya.
"Masih ya?" tanya Bang Dion lagi. Dia tertawa kecil. "Gapapa. Saya nggak maksa kamu buat lupain dia cepat-cepat."
Dia kembali membolak-balikan lembar buku harian ku. "Kalau misalnya dia seagama sama kamu, kamu mau nggak nikah sama dia?"
Pertanyaan yang lagi-lagi membuatku mematung.
"Yaaa gitu deh." Aku terkekeh kecil di akhir kalimatku.
Keadaan kembali hening. Bang Dion tampak serius membaca kalimat yang ada di buku.
"Kean ini, penulis buku ya?" tanya dia. Aku segera mengangguk. Ternyata dia sedang membaca sesuatu tentang Kean.
"Dia hebat untuk ukuran anak SMA." Kembali dia berucap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...