Sore ini, senja sedang bagus. Situasi pesawahan sore-sore begini, memang sangat cocok untuk di nikmati.
Bang Tobok dengan kakinya yang penuh becek, berjalan ke arahku. “Kau temankan dulu abang mengambil jagung di sana,” kata dia.
Aku segera beranjak, dan mengikuti dia dari belakang. Biasanya, kalau belum panen padi, penduduk Samosir terlebih para petani akan memasak jagung atau umbi-umbian sebagai bahan pangan.
Tidak banyak jagung yang kami ambil. Hanya belasan, yang di perkirakan cukup untuk anggota keluarga. Kami kembali ke rumah, sekitar jam enam sore, setelah magrib. Bang Tobok menarik kerbau, sementara aku naik di atasnya. Dia sama sekali tidak keberatan untuk itu.
Tidak banyak yang kami bicarakan, hingga kami sampai di rumah. Bapak sedang berbicara dengan dua orang laki-laki, yang umurnya sedikit lebih tua dari bang Tobok.
Bang Tobok membawa kerbaunya ke arah rumahnya, sementara aku berjalan masuk ke dalam rumah. Aku melihat bapak menerima sejumlah uang, sementara pelaku yang memberikan uang tersebut, mengangkut belasan karung kopi ke dalam mobilnya.
Mereka pergi. Bapak melihatku, dia tersenyum simpul kemudian menyuruhku mendekat. Bapak memberikanku tiga lembar uang seratus. “Kau pakai buat kebutuhan rumah, sekaligus kebutuhan sekolahmu,” katanya.
Aku menerima uang tersebut seraya mengangguk. “Mauliate, Pak.” (Terimakasih, Pak)
Bapak tersenyum kemudian menepuk-nepuk pundakku. “Udah, kau bersih-bersih lah sana. Biar makan kita,” ucapnya.
Aku mengernyitkan dahi. “Bapak udah masak?” tanyaku. Dia menggeleng kecil. “Makan terbang lah dulu kita kali ini,” katanya sembari tertawa kecil. Aku mengangguk kecil. Senang rasanya melihat wajah senangnya.
Aku, bapak, dan Bang Tobok sudah berada di sebuah warung sekarang. Warung ini, tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya berkisar puluhan meter. Kami bertiga menikmati mujahir bakar dan babi hutan panggang.
Aku senang saat melihat Tobok dan bapak yang makan dengan sangat lahap. Suasana ini mungkin akan selalu membekas dalam ingatan. Terlebih, saat bapak sudah menganggap bang Tobok sebagai anaknya sendiri. Sama seperti bang Tobok yang sudah menganggap bapak sebagai bapaknya sendiri.
***
Beberapa hari ke depan, hari ulang tahun bapak. Aku melihat uang yang sudah terkumpul. Sekitar setengah juta. Sepertinya membelikan bapak kemeja, ide yang baik. Tapi, apa bapak mau?
Seperti ulang tahunnya, tahun-tahun sebelumnya. Bapak selalu menolak, pabila aku membelikannya kado. Kata bapak, aku terlalu boros dan membuang-buang uang.
Dia tidak membutuhkan perayaan ulang tahun. Yang dia mau hanya doa terbaik dariku. Hanya itu. Tidak masalah. Aku akan mencobanya nanti.
***
Aku ke sekolah pagi-pagi sekali. Ada piket harian soalnya. Kebersihan kelas hari ini merupakan bagian dari tanggung jawabku selaku pengurus piket.Baru aku melangkah ke dalam ruangan, aku terkejut saat melihat David yang tidur di bangkunya, sementara kakinya dia taruh di atas meja. Wajahnya dia tutup dengan buku biologi.
Aku berdecak kesal. Ku kira tidak ada orang yang akan datang jam segini. Rupanya dia datang. Kadang aku bertanya dalam hati. Apa laki-laki itu tidak punya rumah sehingga dia sering tidur di ruangan kelas??
Setelah meletakkan tas ke bangku, aku bergegas meraih gagang sapu, untuk membersihkan ruangan. Aku mulai menyapu, sebaris demi sebaris. Namun hal yang membuatku kesal adalah, dia tiba-tiba terbangun. “Di kolong mejaku kotor. Nggak sekalian di sapu?” tanya dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...