#Antara Ida & Tobok

11 1 0
                                    

"Jadi, berapa biaya perbaikan sepeda saya, Pak Tua?" tanyaku.

"Seratus ribu aja bayar," jawab Pak Tua. Umurnya lebih tua sedikit dari Bapak, dan dia cukup dekat dengan Bapak.

Aku mengangguk kemudian segera merogoh saku. Ku serahkan selembar uang seratus. Percayalah, itu uang terakhir simpananku. Sebetulnya, aku masih butuh uang untuk biaya perpisahan sekolah nanti. Namun, sangat segan rasanya jika harus memintanya dari Bapak.

Bapak kalau lagi punya uang, tidak akan pelit memberi uang. Bahkan dia sering memberikanku uang untuk di simpan jika sedang panen. Padahal akhir-akhir ini, kopi yang di tanam Bapak berbuah sedikit. Waktu panennya juga masih beberapa bulan lagi. Pun jika segera panen, hasilnya akan sedikit. Aku sering melihat Bapak mengeluh diam-diam.

Aku membawa sepedaku yang sudah selesai ku perbaiki. Lumayan untuk mengirit ongkos ke sekolah. Setelah putus dari David, aku selalu pulang balik ke sekolah menggunakan angkot. Habis sudah uang yang ku simpan.

"Kau kenapa enggak pernah bareng sama David lagi? Apa karena dia sibuk ngurus berkas-berkas pendaftaran akademi kepolisian?" tanya Ida. Oh ya ampun. Aku lupa memberitahukan pada Ida kalau kami sudah putus. Bahkan sudah sebulanan lebih.

"Yaaa. Gitu lah. Kami masih tetap kompak walau lewat handphone," jawabku. Aku juga tak tau kenapa aku tiba-tiba berbohong seperti ini.

"Oh, kirain. Aku juga mana yakin kalau kelen putus. David kan bucin kali samamu," argumennya.

Kami memutuskan pulang setelah membeli es lilin. Aku yang membawa sepeda dan Ida ku bonceng. 

Begitu sampai di rumah, aku melihat Bang Tobok dan Bapak yang tengah berbincang di teras. Ida segera turun. Sementara aku membawa sepeda ke arah gudang. Ada guratan sedih dari wajah Bapak. Aku dan Ida meminta ijin untuk masuk ke dalam. Mereka berdua hanya mengangguk.

Aku sengaja  mendengar perbincangan keduanya.

"Kalau begini terus, macam mana lah bisa dapat duit? Si Uli harus kuliah. Tapi makin ke sini makin nggak yakin aku bisa buat dia kuliah." Bapak menghela napas berat.

"Namanya juga hidup, Tulang. Enggak selamanya kopi yang Tulang tanam berbuah banyak. Tulang sendiri tau. Kemarin saat bulan Desember sampai Januari, hujan lebat kali turun. Bunga kopi berjatuhan," kata Bang Tobok.

"Aku tau itu Tobok. Masalahnya, nanti hasil panen kopi ini mau di jual ke mana? Di edarkan di Sumatera ini aja susah ini. Apalagi sampai ke luar provinsi nanti. Sudah sedikit buahnya, jelek lagi," kata Bapak lirih.

Aku menghela napas panjang. Ini yang tak ku suka dari Bapak. Aku tak suka melihatnya bersedih mengenai pekerjaannya. Kalau tak jadi petani kopi, kami mau makan apa?

Bapak pernah menjadi petani sayuran. Tapi berujung kegagalan karena hujan lebat sehingga membuat semua sayuran busuk. Dan saat itu juga, Bapak menjadi petani kopi. Ini semua karena hujan.

Huft ...

Hujan memang berkah. Tapi kalau begini terus, Bapak bisa gagal lagi dan berujung frustrasi nanti. Ida menyentuh pundak ku. "Kau nggak apa-apa?" tanyanya. Aku tersenyum kemudian menggeleng kecil.

***

Sekitar jam enam sore, aku, Ida dan Bang Tobok yang baru pulang dari ladang, berkumpul di teras rumah. Ida hari ini tidur di rumahku. Orang tuanya sedang pergi ke Bangka. Dan dia sendirian di rumah. Makanya sedari tadi, mulai dari pulang sekolah hingga saat ini, dia lengket bersamaku.

Ida meminta Bang Tobok membantunya mengerjakan soal. Hitung-hitung persiapan untuk ujian  akhir sekolah.

Sebetulnya, aku sudah tau soal yang yang di maksud Ida. Dia bahkan sudah pernah bertanya mengenai soal itu. Kebetulan soal yang di tanyakan adalah kimia. Mata pelajaran favoritku. Aku tau itu hanya sekedar alasannya saja supaya bisa berbincang lebih dekat dengan Bang Tobok. 

"Yang ini aku nggak tau, Bang. Persamaan reaksi yang ku kerjakan selalu salah. Ini gimana caranya?"

"Kenapa enggak minta tolong sama Uli?" tanyanya. Ida menggeleng. "Aku nggak paham kalau dia yang ngajarin," katanya ngeles.

Halah! Alasan.

Bang Tobok tampak telaten mengajarinya sekarang. Percayalah, Ida bukannya serius memperhatikan, dia malah memperhatikan wajah tampan milik Bang Tobok. Dasar gila!

Ah sebenarnya juga, Ida sudah paham materi ini karena sudah pernah ku jelaskan. Dia hanya pura-pura bloon saja di depan Bang Tobok. Modus memang.

Aku beranjak dari sana. Meninggalkan mereka berdua. Bapak sedang fokus menonton televisi. Ku lirik sekilas. Beritanya cukup membuatku gagal fokus. Tapi karena menurutku tak penting bagiku, aku melangkah ke dapur untuk menyiapkan minuman.

Aku hendak mengantarkan teh manis ke depan. Namun tak enak jika aku ada di sana, saat Ida dan Bang Tobok berbicara sangat serius. Itu juga hal yang di senangi Ida tentunya. Mengingat sudah hampir dua tahun, Ida menyukai Bang Tobok.

"Ah sekarang aku paham," kata Ida. Bang Tobok tampak mengangguk. "Bagus kalau gitu," ucapnya.

"Kuliah nanti, mau lanjut ke mana?" tanya Bang Tobok. Dia tampak serius memandang Ida.

"Belum tau, Bang," jawab Ida sekenanya.

"Kenapa?"

"Masih ragu."

"Nanti kalau kuliah cari yang prospek kerjanya besar." Kembali Bang Tobok berucap.

"Iya, Bang. Pasti."

"Em, Ida ...." panggil Bang Tobok lirih.

Ida menaikkan sebelah alisnya. "Iya?" tanyanya sok kalem. "Nanti kalau kau kuliah, jangan jauh-jauh ya?" pinta Bang Tobok. Aku mencium ada tanda-tanda aneh di sini.

"Kenapa?" tanya Ida cepat.

"Gapapa. Abang pengen aja Ida jangan jauh-jauh dari Abang," kata Bang Tobok yang membuatku seketika tersenyum.

Ida hanya tertawa kecil. Aku tau dia sedang menahan gugup sekarang. Karena aku adalah teman yang baik, aku segera datang. Jadi, Ida tidak akan merasakan gugup berkelanjutan.

Begitu aku ke sana, aku bisa mendengar helaan napas lega darinya. Aku berusaha menahan tawa. Beberapa menit kemudian, Bapak tiba-tiba datang bergabung.

"Uli, tadi bapak lihat di TV. Banyak kali polisi yang nggak jelas. Adalah yang jadi polisi ecek-ecek. Adalah itu polisi yang suka mukulin istrinya. Ada polisi yang korupsi. Polisi yang buntingin anak perempuan orang, tapi nggak tanggung jawab. Polisi macam apa lah itu? Besok-besok gak usahlah kau kawin sama polisi ya, Boru?" pinta Bapak yang membuatku menatapnya bingung.

Dulu Bapak paling semangat jika aku menikah dengan laki-laki berseragam sesuai keinginan Mamak dulu. Sekarang malah berubah pikiran lagi.

"Bapak pun herannya sama Mamak mu kian, Uli. Kenapa sukak kali dia sama polisi. Padahal lebih gantengnya bapakmu ini dari polisi yang pernah di ajak dia poto," tutur Bapak. Aku dan Bang Tobok tertawa terbahak-bahak.

Penuturan Ida membuat tawa kami seketika berhenti. "Yaaa, kalau gitu Uli nggak bisa nikah sama David dong kalau dia lolos jadi polisi nanti. David kan ambil kepolisian karena Uli," celetuk Ida yang membuat keadaan seketika hening.

Aku menyesal sudah berbohong tadi. Sepertinya, aku harus cerita secepatnya pada Ida.

***

~BECAUSE OF FATE~

Because Of Fate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang