Aku duduk di bangku. Baris berbaris sudah bubar. Ida melangkah ke arahku. Dia menatapku bingung. "Bah? Sejak kapan kau di sini? Perasaan tadi kau belum datang," kata Ida.
Aku hendak menjawab, namun David yang datang dari pintu segera angkat suara. "Menghilang pakai lampu Jin," katanya. Ida memasang wajah kesal. "Agak lain kelen," ucapnya.
Aku tertawa kecil. "Manjat tembok," bisikku hampir tak terdengar. Ida membulatkan matanya sempurna. "Bah?? Udah kek bodat kau! Kau manjat tembok? Kau nggak sadar pakai rok?" tanyanya kaget.
Aku menepuk jidat. Suara Ida benar-benar berisik. "Bisa, kalau naik tangga," sahut David. Ida berdecak malas. "Heh, bodat. Aku nggak ngomong sama kau!" ucapnya, yang membuatku tertawa terbahak-bahak.
Siswa-siswi memasuki ruangan kelas. Guru fisika memasuki ruangan, yang membuat ruangan ini mendadak hening. "Hari ini kita ulangan ya," ucapnya.
Aku seketika membulatkan mata terkejut. "Bu, jangan sekarang lah, agoh. Belum belajar aku, Bu!" Ida angkat bicara.
Ridwan ikut-ikutan. "Siap-siaplah nilai ikan mas," katanya kemudian terbahak. David angkat bicara. "Bu, besok juga ada pelajaran fisika. Besok aja gimana?" tanya dia.
Pada akhirnya, Bu Manik mengangguk. Dan siswa-siswi di ruangan ini berteriak heboh. Bu Manik menepuk-nepuk meja dengan penghapus. "Heh! Kenapa malah ribut? Kita lanjutkan materi yang baru," ucapnya.
Aku mulai menulis judul bab baru di catatan. Sialnya, tinta pulpenku mendadak habis. Aku melirik Ida. "Kau ada pulpen lagi?" tanyaku. Ida menggeleng kecil. "Kemarin kalau nggak salah tengok, di laci kau ada pulpen. Kau tengok lah dulu," kata Ida.
Aku meraba-raba laciku. Yang ku temukan bukannya pulpen. Tapi sebuah kertas yang di lipat dua. Segera aku menarik kertas tersebut.
Shit! Surat dari orang misterius itu! Aku segera membuka lipatan kertas tersebut, kemudian membaca pesan di dalamnya.
Di sebuah ruangan, ada dua insan yang tengah duduk saling membelakangi. Aku sedikit berbalik, kemudian menatap punggungnya. Senyumku seketika mengembang. Kamu cantik. Sangat cantik meski hanya terlihat dari punggung dan rambutmu yang di gerai bebas.
Aku seketika mematung. Sebenarnya siapa orang di balik surat ini? Dan, dia menyebutku cantik?
BRUK!
Penghapus papan tulis terlempar ke arahku, dan mengenai kepalaku. Aku segera duduk tegap. Bu Manik dengan tangan yang di pinggang, menatapku kesal.
"Kau ngapain di situ, hah? Awak cape ngajar, kau malah main-main. Keluar!" sentaknya. Aku menelan ludahku secara kasar.
"Keluar! Kau nggak ngerti bahasa Indonesia, hah? Apa harus pakai bahasa Inggris?"
Pada akhirnya, aku segera bangkit kemudian melangkah meninggalkan ruangan. Sekarang, aku ada di bangku, yang berada di dekat lapangan voli. Bahkan sekarang, aku ingin sekali menangis. Surat sialan! Karena surat itu aku di hukum. Dan ini, adalah yang pertama kalinya!
Sebuah bola menggelinding ke arah kakiku. Aku segera mendongak. Seorang laki-laki dengan tubuh yang bongsor, rambut yang basah akibat keringat menatapku. Aku mengambil bola tersebut, kemudian memberinya padanya.
"Mauliate," katanya kemudian segera pergi. Aku menghela napas panjang. Tapi sepertinya, aku pernah melihatnya sebelumnya. Entah di mana. Tapi yang pasti, aku pernah melihatnya sebelumnya.
Tapi di mana?
"ULI!" Panggilan itu membuatku seketika menoleh. David berjalan ke arahku. Aku menatapnya bingung. "Kau ngapain?" tanyaku.
Dia duduk di sebelahku. "Mau nemenin," katanya. Aku mengernyitkan dahi. "Bodoh," kataku. Dia terkekeh kecil. "Kasihan, kau nggak ada temennya." Dia kembali berucap.
Aku mengayun-ayunkan kakiku. Pandanganku lurus ke depan, ke arah laki-laki yang bermain voli tadi.
"Lagi pula, emang kau ngapain tadi, sampai-sampai di hukum gitu?"
Pertanyaan David membuatku menoleh ke padanya. Aku tidak mengatakan apa-apa. "Em, mau belajar fisika nggak? Besok kan ada ulangan," ucapnya.
Aku mengernyitkan dahi. "Di mana? Em, kau nggak takut di marahi sama Bu Manik?" tanyaku. Dia menggeleng cepat. "Tadi aku beralasan sakit perut. Makanya di kasih ijin."
"Kenapa nggak belajar aja di ruangan?"
"Bosan, kalau nggak ada kamunya," katanya. Aku memukul pahanya. "Gausah tolol jadi orang!" ucapku. Dia mengusap-usap pahanya.
"Sebenernya, aku udah paham materi itu. Bu Manik ngajarnya ribet. Padahal ada cara gampang," ucapnya.
"Ada?" Aku balik bertanya. David mengangguk. "Mau ku ajari?" tawarnya. Aku mengangguk kecil. Dia segera meraih tanganku. "Kita mau ke mana?" tanyaku.
"Ada deh," ucapnya. Kami melewati koridor, hingga tak sengaja bertemu Pak Satpam yang sedang bertugas memeriksa kebersihan lingkungan sekolah. Satpam tersebut menatapku kaget.
"Bah? Bukannya kau tadi yang di kunci di gerbang? Kok bisa kau ada di sini?" tanya dia kaget. Aku terdiam. Bingung ingin menjawab apa.
"Bapak salah lihat kali. Dia mana terlambat tadi. Wong dia bareng saya tadi," kata David. Satpam tersebut menatap kami berdua bingung.
"Tapi aku hapal muka-muka ini," ucapnya sembari menunjuk wajahku. Wajahku seketika memanas. David kembali angkat suara. "Bapak kayaknya salah orang," katanya lagi. Dia menggeleng. "Walau umurku udah setengah abad, nggak mungkin aku lupa!" cecarnya.
Aku melirik David. Sekarang gimana??
"Pak, kalau nggak salah, tadi pak Kepsek cariin Bapak," kata David yang membuat satpam tersebut refleks bertanya. "Bah? Ada penaikan gaji kah ini? Jarang-jarang aku di panggil," Dia merapikan seragamnya.
"Mantap kali lah kalau kek gini," ucapnya kemudian melangkah pergi meninggalkan kami berdua. Aku melirik David, dan dia juga memandangku. Seketika kami tertawa terbahak-bahak.
***
Seperti kata David, dia membawaku ke sebuah tempat. Lebih tepatnya perpustakaan. Tentunya sudah ijin terlebih dahulu pada petugas perpustakaan.
Dia membawa satu buah buku yang tebalnya sekitar lima ratus lembar. Di letakkannya di meja. Di hadapanku. Aku menatap buku tersebut lamat-lamat. Dia segera merapikan dasinya.
"Sekarang aku berperan jadi guru Fisika," ucapnya. Dia menatapku. "Kau punya mimpi?" tanya dia. Aku membalasnya dengan anggukan kecil seraya berbicara, "Iya."
Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apa?" tanya dia lagi. Ini kenapa dia bertindak seperti pewawancara? Tadi katanya guru Fisika! Guru fisika tak seharusnya bertanya tentang mimpi.
"Tinggal jawab aja kali, Uli," Dia berucap. Aku menghela napas dalam-dalam. "Iya. Aku .... Aku ingin jadi dokter," jawabku.
Dia terdiam beberapa saat. "Dokter?" ulangnya. Aku mengangguk. "Mimpinya ketinggian. Aku tau apa yang bakal kau bilang," kataku kemudian buang muka.
Dia tertawa. "Salah," ucapnya. Aku kembali meliriknya kemudian mengernyitkan dahi. "Jadi?"
"Hebat," ucapnya yang membuatku kebingungan. "Halah. Bilang aja mau ngehina," lirihku. Dia menggeleng. Dia duduk di sebelahku, menatap mataku dengan tatapan lembut.
Entah kenapa jantungku berdegup sangat kencang. "Nggak ada larangan untuk punya mimpi tinggi. Asalkan, bukan sekedar mimpi. Tapi kau akan bangun setiap pagi untuk mewujudkan mimpi tersebut." Dia mengucapkannya, seraya menepuk kepalaku pelan.
***
~BECAUSE OF FATE~

KAMU SEDANG MEMBACA
Because of Fate [END]
Teen Fiction"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...