Pagi-pagi sekali, aku menuju dapur untuk memasakkan bapak serapan pagi. Selama ini, bapak sudah memasak telur dadar untukku, maka untuk itu biar aku menggantikan posisinya. Ku hidangkan semua masakan, mulai dari sayur bayam kesukaan bapak, telur dadar sekaligus sambal terasi kesukaan bapak.
Setelah semua siap, aku segera bersiap untuk membersihkan diri, untuk bersiap ke sekolah. Begitu selesai, aku benar-benar terkejut begitu melihat bapak yang sudah duduk di kursi. “Bah? Udah pandai boruku memasak,” katanya dengan wajahnya yang berseri-seri.
Aku tersenyum, meskipun rasanya sangat menyakitkan. Bapak segera menepuk kursi di sebelahnya. “Duduk sini Boru, di samping bapak. Biar sama-sama kita makan,” katanya.
Aku tersenyum kemudian mengangguk. Aku berjalan ke arahnya, kemudian duduk di sebelah bapak. Bapak mencoba sambal terasi buatan ku. Dia memejamkan matanya untuk merasakannya. Aku begitu penasaran dengan rasanya menurut bapak. Karena, aku sendiri ragu.
“Gimana, Pak?”
Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah itu dia membuka kedua matanya. Dia menatapku tanpa ekspresi. Aku benar-benar penasaran di buatnya. Hingga pada akhirnya, dia memberikan kedua jempolnya.
“Enak kali. Mantap, Boru!” ucapnya yang membuatku tersenyum lebar, segera ku peluk bapak.
Aku merasa sangat senang mendengar pendapatnya. Bapak mengelus-elus rambutku. Ketahuilah, air mataku mati-matian ku tahan untuk tidak jatuh.
***
Sesampainya aku di sekolah, aku segera memarkirkan sepedaku. Ada sepeda Ida di sana. Itu berarti, kami akan pulang bersama nanti. Begitu aku menginjakkan kakiku di kelas, tidak ada Ida di sana.
Hanya ada David yang tengah menidurkan kepalanya di meja. Matanya juga tertutup rapat. Lalu ke mana Ida pergi? Setelah meletakkan tas, aku hendak pergi, namun suara David membuatku menghentikan langkah.
“Lo benci banget ya sama gue?” tanya dia. Aku tidak mengerti maksud perkataannya apa. Aku meliriknya. Di antara teman-teman yang lainnya, hanya dia satu-satunya yang berbicara dengan logat seperti itu. Hal itu membuatku sedikit risih.
Menurutku terkesan tidak sopan. Dia menegakkan tubuhnya, kemudian menatapku. “Gue ngerasa nggak pernah buat salah ke lo,” sambungnya.
Aku hanya diam. Ingin menanggapi ucapannya saja aku malas. Aku kembali berbalik dan hendak pergi. “Gue nggak bicara sama batu,” katanya. Kali ini, kesabaranku habis. Aku kembali berbalik kemudian menatapnya. “Apa sih kau?” tanyaku.
Dia berjalan ke arahku. Posisinya, sekarang kami saling berhadap-hadapan. “Apa karena gue Islam, makanya lo jauhin gue?” tanyanya.
Aku menghela napas dalam-dalam. “Di agama yang saya pelajari, nggak ada larangan untuk berteman dengan orang muslim,” jawabku.
“Lalu?” Dia menaikkan sebelah alisnya.
“Lalu apa?” tanyaku balik.
“Hampir setahun kita satu ruangan. Dan hampir setahun juga, lo sama gue nggak pernah cakapan.”
“Memangnya penting?” tanyaku.
Dia diam. Aku menghela napas panjang. “Bagi saya, selama itu nggak penting, saya nggak peduli,” ucapku lugas.
“Apa gue harus merubah logat bahasa gue, jadi kayak bahasa lo pada?” tanyanya.
Aku mengedikkan bahu tak acuh. “Itu urusanmu,” kataku kemudian segera melangkah pergi. Itu makanya aku tidak suka David. Sikapnya membuatku jengkel.
“Bah? Uliii!” panggil seseorang yang ku kenal jelas, bahwa itu suara Ida. Aku menoleh. Dia berlari ke arahku.
“Udah lama kau datang?” tanya dia. Aku menggeleng kecil.
“Dari mana kau?” tanyaku.
“Kamar mandi. Sakit kali perutku, agoh. Udah berak sampai tiga kali aku,” katanya yang membuatku bergidik ngerih. “Ke kelas yok?” kata Ida, berjalan mendahuluiku, sembari mengelus-elus perutnya.
“Harusnya, nggak ku makan rujaknya Mak Ucok. Jadi sakit kali perutku ini, agoh,” keluhnya hingga kami sampai ke kelas.
Begitu kami sampai di kelas, sudah banyak siswa-siswi yah duduk di bangku masing-masing, sembari memainkan ponselnya masing-masing. David tengah berbincang dengan Josep dan Ridwan di bangku sudut.
Aku dan Ida duduk di bangku, sembari membicarakan sambal terasi yang ku buatkan tadi pagi. Namun, panggilan dari Ridwan membuat kami berdua menoleh. Dan lagi, pandanganku dengan David kembali bertemu.
“Uli, nggak seneng kau? Ini si David udah sembuh," kata Ridwan sambil menunjuk David dengan dagunya.
Aku menatap Ridwan kebingungan. Buat apa aku senang? Lagi pula apa hal tersebut penting? Ida tertawa geli.
“Apa pulak lah kau, Wan. Si Uli itu, sukanya sama cowok berseragam. Bapaknya yang bilang,” kata Ida yang membuatku membulatkan mata sempurna.
“Ida!” tegurku. Padahal sebelumnya aku tidak pernah cerita. Tau dari mana dia? Dari bang Tobok? Mereka berdua kan dekat. Patut di curigai.
“Berseragam? Kita semua juga berseragam sekarang. Seragam sekolah,” kata Ridwan kemudian tertawa terbahak-bahak.
Wajahku seketika memanas. Ida menghela napas kesal. “Eee macam mana pulak? Bah, agak lain kau Wan. Bukan seragam sekolah, bodoh. Tapi kayak abdi negara gitu. Kek polisi lah, tentara lah—”
“Ida!” tegurku sekali lagi.
Ida hanya tertawa jahil. Sementara David hanya diam. Benar-benar tidak mengucapkan sepatah katapun. Lonceng pertanda baris berbaris berbunyi. Aku dan Ida berjalan beriringan menuju lapangan.
Ada enam polisi di depan sana. Bisik-bisik mulai terdengar. Ada yang berpendapat, bahwa polisi itu hanya untuk sosialisasi tentang narkoba, tertib lalu lintas, seperti hari-hari sebelumnya.
Bapak kepala sekolah memberikan aba-aba. Rupanya bukan, polisi-polisi itu datang untuk menyatakan bahwa pendaftaran anggota Akpol akan segera di mulai.
Polisi tersebut malah bertanya ke tiap barisan kelas, siapa-siapa saja yang berkeinginan menjadi anggota polisi.
Semua siswa-siswi di kelasku malah melirik Ridwan, karena tubuh Ridwan yang bongsor. Namun kata Ridwan dia tidak mau. Katanya dia tidak memiliki cita-cita untuk menjadi abdi negara.
"HEH! Nggak usah kelen tunjuk aku. Mana mau aku jadi polisi. Habis kali uang mamak kami ke situ nanti. Mending jadi DPR aku. Bisa korupsi. Gaji banyak. Padahal kerjanya cuman tidur di kantor," katanya yang membuat siswa-siswi yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak.
Josep memiliki tinggi yang pas-pasan, jadi dia sudah lebih dulu mundur. Siswa yang lain mengatakan bahwa tidak ingin masuk anggota kepolisian, karena masalah biaya. Namun, ada satu orang yang mengangkat tangan tinggi-tinggi. Dan orang itu adalah David. Polisi memanggil David untuk maju ke depan. Tatapannya masih saja datar.
“Atas nama siapa, Dek?” tanya Pak Polisi.
“David Andriansyah, Pak,” jawabnya tegas.
“Bapak boleh tau, tujuan kamu ingin menjadi seorang polisi itu apa?” tanya Pak Polisi.
Cukup lama David menjawab, hingga pada akhirnya mulutnya refleks mengatakan, “Karena cewek yang saya suka, pengen punya pacar abdi negara, Pak,” katanya.
Dan saat itu pula, teman-teman sekelas ku melirikku. Wajahku benar-benar memanas.
***
~BECAUSE OF FATE~
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of Fate [END]
Fiksi Remaja"Kalau memang perbedaan antara kita berdua menjadikan kontra sama Bapakmu, aku nggak masalah, Uli. Apapun yang terjadi nanti, kita tetap jalani berdua. Akhirnya gimana, kita serahin ke Tuhan," kata David. "Tuhanku, atau Tuhanmu?" tanyaku. David dia...