#Berita pada Bapak

10 1 0
                                    

Begitu bel pulang sekolah berbunyi, buru-buru aku pulang. Tentu saja aku ingin memberitahukan berita bahagia ini pada Bapak.

Aku menarik tangan Ida semangat. "Sebelum pulang ke rumah, temani aku ke makam Dame ya?" kataku. Ida hanya memilih mengangguk. Aku tau dia cukup keberatan untuk itu.

Aku menaburkan bunga yang tadinya ku beli tak jauh dari makam Dame. Ku taburkan sembari menceritakan apa yang telah terjadi di sekolah tadi. Bahkan kini Ida menatapku malas.

"Udah kayak orang paok kau ngomong sama kuburan, Uli."

Aku tidak menggubris ucapannya sama sekali.

"Dame, aku lolos di universitas yang selama ini ku impikan. Dapat beasiswa kedokteran. Kira-kira Bapak gimana ya nanti? Aku nggak sabar lihat dia bangga ke aku nanti hehehe."

Kira-kira tiga puluh menit di sana, akhirnya kami memilih untuk pulang. Karena rumah Ida lebih dekat, dia sudah masuk ke dalam gang menuju rumahnya. Aku kembali membawa sepedaku menuju rumah.

Di teras, aku melihat Bang Tobok yang tengah duduk di dekat tangga sembari memilih-milih bibit yang nantinya akan di tanam. Ku hampiri dia dengan semangat.

"Bang!" sapaku nyaris membuatnya kaget.

Dia melirikku sekilas. "Bahagia kali nampaknya muka kau. Kenapa?" tanyanya.

"Abang nggak sor lihat aku senang?" tanyaku pura-pura kesal.

Dia tak mengatakan apa-apa lagi. Aku jadi teringat sama Ida. Buru-buru ku letakkan tas ku di kursi.

"Bang, ada yang mau ku bilang," sahutku. Dia menaikkan sebelah alisnya. "Apa?" jawabnya.

"Ini tentang Ida."

"Ida?"

"Iyaaaa."

"Kenapaa sama dia?"

"Dia suka sama Abang!"

Begitu aku mengatakan hal tersebut, Bang Tobok mendadak terdiam. "Jangan bercanda Uli," katanya kemudian segera bangkit.

"Aku nggak bercanda. Itu kenyataannya. Abang aja yang engga peka."

Aku segera menghalanginya yang hendak berbalik. "Aku belom siap ngomong lah, Bang!"

"Ya terus? Abang harus gimana?" tanyanya dengan kerutan di keningnya. Aku menghela napas dalam-dalam. "Masa nanya lagi? Ajak dia pacaran lah. Kasih kepastian ke dia."

Bang Tobok menghela napas panjang. "Abang nggak mau pacaran, Uli."

"Kenapa?" tanyaku cepat.

"Abang mau nanya ke kau lagi. Buat apa pacaran? Keluarga Abang aja belom bisa Abang bahagiain. Apalagi anak orang. Udah lah Uli. Jangan ngomong aneh-aneh kau. Nggak ada yang namanya pacar-pacaran." Bang Tobok segera melewatiku begitu saja.

"Tapi Abang suka Ida kan?" tanyaku cepat. Dia menghentikan langkahnya.

"Iyakan?" tanyaku ulang.

"Abang anggap kalian berdua adek Abang. Engga lebih," katanya kemudian segera pergi.

Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Tak bisa berkata apa-apa lagi.

***

Malam itu, aku dan Bapak sedang makan. Buru-buru ku habiskan nasiku. Bapak menatapku kebingungan.

"Kau mau ke mana, Boru? Kok macam buru-buru kali Bapak tengok."

Aku tidak menjawab apa-apa. Buru-buru ku teguk air putih hingga tandas setengah gelas. Aku berlari ke arah kamar. Ku pandangi berkas tersebut. Senyumku mengembang.

Because Of Fate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang