CHAPTER 12

348 69 855
                                    

FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA

KLIK VOTE, KOMENTAR, DAN SHARE KE TEMAN-TEMAN KAMU AJAK MEREKA UNTUK BACA CERITA INI JUGA

SEMOGA SUKA ❤

TERIMA KASIH 🥰

TERIMA KASIH 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER 12

Yang Tak Dewa Mengerti

oleh Hai Naira

---------

"Dewa lempar bolanya!" Naira berteriak sembari tepuk tangan untuk menyemangati cowok itu.

Dewa yang sejak tadi berusaha memasukkan bola makin bersemangat ketika mendengar suara Naira. Demi tiket yang harus dikumpulkan untuk menukar hadiah incaran, mereka harus bersemangat mencetak gol sebanyak mungkin untuk mendapatkan sebuah boneka kelinci yang cukup besar terpajang di kasir. Ramainya Timezone, orang-orang yang berlalu-lalang, tidak membuat keduanya teralihkan dari kesenangan.

Untuk sementara melupakan masalah mereka.

"Kamu harus kalahin skorku juga," ucap Naira masih semangat. "Waktunya tinggal sedikit lagi. Ayo, Dewa!"

Dewa pun fokus memasukkan bola ke dalam keranjang, hingga bunyi waktu habis menandakan permainan selesai. Dewa akhirnya berhasil mencetak angka tertinggi selama mereka bermain. Keduanya berteriak heboh di tengah keramaian membuat orang-orang melirik.

"Berhasil!" Naira sangat senang. Ia bahkan memeluk Dewa dan cowok itu balas memeluknya.

Naira melepas lebih dulu pelukan itu karena ia akan mengumpulkan tiket itu. Sangat banyak sekali dan pas untuk ditukar dengan satu boneka incarannya.

"Udah cukup, kan?"

Mendengar Dewa bertanya, Naira mengangguk. "Udah. Gak sia-sia dari tadi main."

Dewa tersenyum melihat Naira sangat bahagia. Padahal boneka seperti itu bisa ia beli lebih mudah dibandingkan harus berusaha bermain dan menghabiskan lebih banyak uang. Tetapi Naira memaksanya untuk memenangkan tantangan ini.

"Dewa?"

Keduanya terkejut ketika mendengar seseorang memanggil namun dengan suara perempuan yang tidak familiar di telinga Naira. Sementara Naira tidak yakin kalau panggilan itu untuk orang lain karena jelas-jelas suaranya sangat terdengar dekat.

Dewa dan Naira menoleh bersamaan. Namun raut wajah Dewa langsung muram ketika dia melihat Liebi dan cewek itu benar-benar ada di depan matanya.

"Lo lagi ada di sini?" tanya Liebi seolah-olah tidak menyadari keberadaan Naira.

Naira menoleh pada Dewa. "Siapa, Dewa?"

"Dia Liebi," jawab Dewa tidak bersemangat.

Liebi yang disebut pun ikut menoleh ke arah Naira, cewek itu tersenyum. "Hai, teman Dewa ya?"

Naira terkejut, sangat-sangat terkejut karena baru pertama kali melihat dengan langsung cewek itu, cewek yang selalu dibanggakan oleh mamanya Dewa. Rasanya sakit mengingat cewek itu lebih beruntung darinya untuk terus bersama Dewa.

Naira tersenyum. "Lebih tepatnya saha—"

"Pacar gue." Jawaban Dewa memotong. "Naira."

Liebi yang kini terkejut. "Lo ... udah punya pacar?"

"Memangnya lo gak pernah pikir kenapa gue beberapa kali gak datang ke acara makan malam?" Kini Dewa yang mendominasi suasana runyam ini. "Ya karena udah punya pacar. Gue mau berteman sama lo. Gue mau kenal sama lo, Liebi. Tapi bukan yang kayak nyokap gue mau atau mungkin orang tua lo mau. Karena gue cinta sama pacar gue. Gue cinta sama Naira."

"Dewa!" Naira memperingatkan cowok itu untuk tidak berbicara aneh.

Tetapi Dewa sama sekali tidak memedulikan Naira, Dewa tampak bangga kali ini bertemu dengan Liebi saat ada Naira. "Gue mau lo gak berharap lebih sama apa pun yang nyokap gue bilang. Lo bisa cari cowok lain yang lo suka. Pilih yang sesuai sama lo dan itu bukan gue."

"Dewa!" Naira melotot, menatap kesal cowok itu. "Kamu ngomong apa sih?!"

"Gak apa-apa, Ra." Dewa menjawab. "Dia harus tau tentang kita."

Liebi diam, memperhatikan Dewa dan Naira secara bergantian. Dewa sendiri menatap kesal ke arah Liebi. Rasanya semua amarah terkumpul saat dia melihat wajah cewek itu.

"Permisi." Dewa berkata cepat sambil menarik tangan Naira. Menjauh dari sana dan menukarkan tiket yang sudah mereka kumpulkan dengan boneka.

Naira memeluk boneka itu dengan satu tangan, tangannya yang lain terus digenggam oleh Dewa. "Kamu gak lihat muka Liebi, Dewa? Kamu gak lihat kalau dia berharap sama kamu?"

"Aku lebih lihat muka kamu yang selalu bohong, Ra. Kamu yang selalu bohong tentang kamu baik-baik aja tanpa aku. Padahal aslinya, nggak, kan?"

Gimana chapter ini menurut kamu?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gimana chapter ini menurut kamu?

NEXT?

VOTE!

KOMEN!

SHARE ke teman-teman kamu!

TERIMA KASIH

FOLLOW MEDIA SOSIALKU

FOLLOW MEDIA SOSIALKU

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yang Tak Dewa MengertiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang