28

543 111 13
                                    

"Jef, coba pinjem tangan kamu."

Jefri ulurkan tangannya kepada Anna.

Sebuah jam tangan silver lantas Anna pasangkan di sana. Binar-binar yang terpancar di kedua mata cemerlang Anna juga wajah yang berkali-kali lipat lebih cantik saat dihiasi senyuman membuat Jefri tanpa sadar menatap lekat, penuh sayang.

"Bagus, nggak?"

Saat itu, mereka duduk di kursi, di teras rumah Anna, di malam minggu yang syahdu.

"Bagus."

Mereka sama-sama memerhatikan lengan Jefri yang kini dilingkari jam tangan berwarna silver juga jemari Anna yang masih bertengger di sana mengusap-usapnya. Saat keduanya bersitatap, masing-masing saling melempar senyum.

"Cocok, ya, buat Kak Kay?"

Namun, secepat Anna melontar tanya, secepat itu juga, raut Jefri kembali biasa. Senyuman berangkat menuju pudar.

Jefri lepas jam tangan di lengannya. "Cocok, kok."

Bibir Anna masih senantiasa melengkung, tanpa menyadari Jefri yang berubah murung. Ia kembalikan jam itu ke dalam kotak hitam. "Hari ini, Kak Kay ulang tahun."

Seharusnya, Jefri tidaklah lupa akan apa yang menjadi maksudnya bertamu di rumah Anna tiap datang malam minggu.

Seharusnya, Jefri tidak serta-merta terlena oleh Anna yang berdandan kelewat jelita.

Seharusnya, Jefri tidak pula kecewa ketika Anna mengatakan jam tangan silver itu bukan untuknya.

Anna dan jam tangan adalah dua hal yang diperuntukkan hanya untuk Kay semata. Lantas, Jefri berharap apa?

Seharusnya pun Jefri tak lupa tentang pesan suara yang Anna kirimkan malam-malam silam.

"Becanda kamu nggak lucu, ih. Kamu sadar, nggak, Jef, kalo kamu bikin aku ngerasa jadi cewek jahat. Kayak lagi selingkuh, tahu. Inget, ya. Aku udah punya pacar."

Padahal kala itu, Jefri tidak sedang bercanda. Ia sungguh-sungguh akan bertanggungjawab atas perasaan Anna jika memang ada.

Setelah melalui malam-malam penuh kebimbangan, Jefri sempat memutuskan untuk menuruti kemauan hati yang begitu menginginkan Anna. Persetan dengan aturan agama dan dosa. Senormalnya manusia, Jefri sekadar ingin bermanja-manja dengan dunia di usianya yang muda.

Tentang Kay alias pacar Anna. Jefri tentu tidak lupa. Hanya saja, Jefri masih tak menyangka jika perasaan Anna pada Kay begitu membara. Sepertinya, rasa suka Anna pada Jefri yang dahulu pernah digembar-gemborkan memang hanya sebatas candaan belaka.

Atau, sebenarnya, Jefri terlambat menyadari perasaan Anna saat sedang nyata-nyatanya?

Ketika Anna tengah berkaca untuk merapikan helaian rambut di dalam mobil, Jefri menoreh senyum miris. Anna masih sibuk memoles bibirnya dengan liptint agar lebih merona. Sedang Jefri sibuk memoles raut wajah agar muramnya tidak terlalu kentara.

"Jefri! Liatin!"

Menoleh, Jefri dihadapkan dengan Anna yang memanyunkan bibir, mengecup udara.

"Muah."

Sialnya, hati Jefri ikut terkecup juga.

"Cantik, nggak warnanya?"

Anna tersenyum tepat di depan mata Jefri, tapi sedetik kemudian tertegun.

Jeda dipangkas Jefri hebat sehingga jarak antara wajah mereka hanya tinggal satu jengkal orang dewasa. Jemari Jefri lambat laun terulur, begitu halus pergerakannya menuju sudut bibir Anna, menyeka sedikit noda merah yang tidak pada tempatnya.

Sayang, perasaan di dada yang juga sedang tidak pada tempatnya tidak ikut Jefri seka.

Justru, ada gemuruh di dalam sana yang mendorong laki-laki itu untuk terus menghabisi jarak yang tersisa.

Kendati demikian, Jefri masih sangat amat waras sehingga bibirnya berbelok ke samping telinga Anna untuk kemudian bicara,

"Jangan keterlaluan cantiknya, nanti Bang Kay tambah tergila-gila."





Saat itu, ada jantung dua manusia yang saling berdebar. Namun, satu sama lain tidaklah saling berkabar.

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang