10

811 164 8
                                    

Di depan pagar besi rumah Anna, Jefri terpana.

"Kenapa, Jef? Aku cantik banget, ya?"

Pasalnya ini kali pertama Jefri mendapati Anna mengenakan gaun dan sedikit merias wajah hanya untuk pergi kafe. Biasanya, perempuan itu hanya akan mengenakan kaos dan celana jeans atau kadang kala setelan tidur.

"Kaya mau ketemu siapa."

Jefri palingkan tatap dari Anna sebelum pesona perempuan itu mengobrak-abrik jiwa.

Helm diberikan. "Pake!"

"Nggak dipakein?"

Memakaikan helm Anna tidak pernah semendebarkan ini sebelumnya. Ludah Jefri terteguk sukar. Dalam keadaan setengah terpaksa, Jefri kenakan benda kuning yang selalu sedia ada di bagasi motor.

Jarak sekian senti menyebabkan senyum manis Anna kian terkuat nyata di depan mata Jefri.

"Manja deh!"

Dan, Jefri berlakon seakan-akan ia tak pengaruh apa-apa. Senyum Anna adalah sesuatu yang sudah menjadi menu keseharian, seharusnya tidak sesedap ini dipandang.

"Apa sih, Jef. Ngeliatin mulu. Naksir, ya?"

Dari sepion motor, Anna berkali-kali menangkap basah Jefri memandang pantulan wajahnya di sana. Jefri kembalikan tatap pada jalanan, meski Anna masih menduduki peringkat pertama objek yang menarik untuk dilihat lama-lama.

"Kalo saya enggak bilang, berarti nggak lagi naksir."

Anna tak menanggapi. Hanya sebatas menarik bibir mendatar. Ia seolah tahu, sampai kapanpun Jefri tidak akan menaruh ketertarikan padanya. Tahu betul Anna, perihal apa yang menjadi selera Jefri.

Singkat cerita, itu bukan dirinya.

"Pesan apa pun yang kamu mau, Jef! Aku traktir."

Kafe yang menjadi tujuan mereka malam ini cukup tenang, tak banyak pelanggan datang.

Menanti pesanan.

Anna berkutat dengan laptonya, Jefri dengan buku menu serta gemuruh di dada.

Keduanya tak banyak bercakap. Anna sungguh-sungguh menciptakan ruang tenang untuk Jefri yang sedang ramai dalam pikiran sendiri. Perempuan itu tiada menyadari, atas ekor mata Jefri yang terus berlarian padanya.

"Woi, Jefri!"

Sampai atensi Jefri berpendar seketika sebuah panggilan menggema. Ia mengenali suara itu dan tentu saja sang pemilik yang mengurai langkah mendekat.

"Lama banget nggak ngobrol."

Bahu Jefri ditepuk. Jefri tersenyum ramah.

"Gimana kabar? Sehat?"

Senyum Jefri memudar ketika bangku di sebelah Anna dihuni paksa. Dan tangan lebar itu mengelus kepala Anna suka-suka.

"Sehat, Bang."

Demikian jawab Jefri pelan.

"Bang Kay, gimana?"

Mencoba untuk menyehatkan hati yang sakit ketika Anna memberikan senyum termanisnya malam ini kepada Kayrendra Januar, kakak kelas tingkat akhir sekaligus senior terpandang di ekskul basket.

"Sehat, kok."

Kay menatap Anna penuh kasih.



"Tapi sekali-kali pengen sakit, biar diperhatiin pacar."

[]





notes: hai, ini adalah kisah klasik yang ditulis alakadar. semoga terhibur.

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang