39

451 92 6
                                    

"Ada Jefri, nggak?"

Anna tidak menemukan Jefri di mana-mana. Di kantin, di kelas, atau pun di ruang OSIS. Semua orang menggeleng saat ditanya.

"Kakak nyariin Kak Jefri?"

Seorang perempuan manis yang baru saja tiba kemudian menyahut Anna. "Kamu tahu?"

"Kak Jefri ada di UKS. Katanya tadi pagi jatuh di tikungan deket rumahnya karena buru-buru berangkat."

Anna mengangguk-angguk paham. "Makasih, ya infonya."

Sebelum pergi, sempat Anna lirik juga tag nama di baju seragam perempuan yang barusan tersenyum ramah. Ranya Adinda Silviana. Anna akui, ia secantik namanya.

"Udah diobatin, kok, sama Ranya."

Semakin ciut saja hati Anna ketika ia tiba di UKS, hendak membantu mengobati lecet di kaki dan lengan Jefri, tetapi ternyata Ranya yang konon juga menjabat sebagai anggota PMR telah lebih dulu menjalankan peranannya.

"Ada yang lecet lagi, nggak? Sini biar aku yang obatin."

Jefri jatuh di tikungan dekat rumahnya, yang berarti itu sebelum sampai rumah Anna. Jelas saja, Anna memikul rasa bersalah. Ia tadi menyuruh Jefri buru-buru datang karena hari ini jatahnya piket.

"Udah nggak ada, Na."

Seketika Anna berhenti menyentuh-nyentuh tubuh Jefri. Perkataan sekaligus tepisan Jefri membuat Anna lantas terdiam. Ia menunduk, menatap lengan Jefri yang sudah ditutup kain kasa, buah keterampilan Ranya yang luar biasa. Anna tidak ada apa-apanya tentu saja. Anna tidak cakap dalam hal apa pun, termasuk dalam hal mengobati luka.

Yang ada nanti, Jefri hanya akan teriak-teriak kesakitan karena Anna terlalu kacau.

"Maaf, ya, Jef. Aku tadi nggak sempet hubungin kamu. Kalo aja aku cepet-cepet ngabarin, kamu mungkin nggak akan jatuh."

"Udah kejadian, sih. Ya udah nggak apa-apa."

"Kamu pasti marah, ya, ke aku?"

"Enggak. Ngapain marah. Seneng malah kamu udah baikan lagi sama Bang Kay."

Sesungguhnya, Jefri adalah lakon yang buruk. Ia berkata demikian tapi rautnya tak menebarkan kebahagiaan. Tiada senyuman yang menyokong pernyataan bahwa ia memang turut senang.

"Anna udah berangkat bareng sama Kay, Jef."

Karena memang mendengar pemberitahuan dari mulut Mama Anna dan melihat Anna kembali turun dari mobil Kay rasanya lebih perih dari luka-luka akibat goresan aspal pagi tadi.

Jefri berbohong, tetapi Anna tidak sepeka itu untuk tahu.

Anna percaya saja. Ia mengangguk saja.

Sedikit suara dari perut Jefri terdengar kentara sebab keheningan saat itu sedang amat merajalela. Anna mengangkat kepala.

"Kamu laper? Aku beliin makanan ya di kantin."

Hendak Anna beranjak, tetapi Jefri lebih dulu menahan lengan perempuan itu. "Nggak usah, Na. Udah mau masuk."

Anna tengok jam dinding. Memang benar, jam istirahat akan segera berakhir.

"Terus kamu gimana? Kamu pasti nggak sempet sarapan, ya, tadi pagi?"

Nada bicara Anna kian nyata dilesapi sesal. Jefri tak menyangkal maupun mengiyakan. Ia sibuk melipat selimut UKS dan bangkit dari ranjang dengan sedikit kepayahan.

"Kamu mau masuk kelas dalam keadaan kayak gini?"

Anna mengekori Jefri yang berjalan pelan.

"Yang sakit 'kan cuma tangan sama kaki saya. Bukan otak saya. Nggak usah berlebihan, deh, Na."

Sedikit terkesiap Jefri ketika Anna menggelayuti lengannya.

"Jef, balik lagi aja yuk ke UKS. Aku temenin kamu." Anak itu memasang raut memohon.

"Nanti ada pelajaran matematika, aku belum ngerjain tugas."

Dipikir Jefri, Anna sungguh-sungguh mencemaskannya, tetapi ternyata sekedar mencemaskan matematika. Maka, Jefri singkirkan perlahan jemari Anna dari lengannya.

"Kalo ada tugas tuh dikerjain, Na."

"Enggak bisa. Susah."

"Kan ada Bang Kay. Minta ajarin dia, lah."

Tadi Anna enggan melepaskan lengan Jefri, tetapi kini kukungan jemari perempuan itu melemah dengan sendirinya sehingga Jefri bisa melenggang segera, sementara Anna tertinggal di belakang sana.

Namun, Jefri tetaplah Jefri yang tidak pernah bisa meninggalkan Anna bagaimanapun kondisinya, kecuali Anna yang meminta. Ia tidak setega itu hingga Anna kembali dihampiri.

"Buruan, Na, udah bel masuk!"

Anna masih sibuk melamun.

Terpaksa, Jefri letakkan lengannya di belakang punggung Anna untuk kemudian ia bawa melangkah menyusuri koridor. Anna nurut saja. Ia nikmati euforia di dada yang bergema hanya karena perlakuan Jefri yang bahkan tidak lebih manis dari kecupan bibir Kay.

Sampai di depan pintu kelas Anna.

Jefri menjauhkan diri. Anna dibebaskan, tetapi laki-laki itu tidak pernah tahu bahwa hati Anna sampai saat ini masih ada dalam belenggu rasa suka terhadapnya.

"Jefri!"

Anna memanggil ketika Jefri sudah berlalu beberapa langkah.

"Tunggu bentar! Bentar aja, nggak lama."

Jefri turuti permintaan Anna. Diam beberapa saat di tengah-tengah koridor yang mulai tertelan sepi.

Anna datang kembali. Sedikit ngos-ngosan karena berlarian. Bersama senyuman lebar yang mempertontonkan deretan gigi tertata rapi, Anna meletekkan sebatang cokelat di tangan Jefri.

Katanya, "Buat ganjel laper. Makan aja di kelas. Sekali-kali nakal dikit."

Anna kembari berlarian meninggalkan Jefri di ujung sana yang masih sibuk mengamati cokelat dalam genggaman, dengan seulas senyuman.

"Jefri!"

Sampai suara Anna lagi-lagi terdengar. Jefri memandang.

"Jangan sampe ketahuan guru kalo mau makan."



Sudah Jefri coba untuk tidak ketahuan guru ketika makan cokelat dari Anna. Tetapi, ujung-ujungnya,

"Jefri! Kalo makan bagi-bagi, dong."

Taufan menginterupsi keras dari sudut kelas.

Pak Ali, guru agama yang sedang menjelaskan di depan lalu melotot padanya. Alhasil, cokelat dibagikan pada teman-teman. Jefri hanya dapat sepucuk saat perutnya sangat keroncongan. Taufan cengegesan.



"Dasar Angin Topan."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang