38

457 92 8
                                    

Mungkin Kay memang sibuk.

Mungkin Kay sedang ingin fokus pada jadwal kuliah dan tugas yang menumpuk.

Semestinya, Anna tidak perlu terpuruk. Cukup singkirkan saja isi pikirannya yang buruk-buruk. Anna hanya perlu mengingat bahwa dunia Kay bukan hanya soal dirinya, dan dunianya pun tidak perporos pada Kay saja.

Anna punya orang tua, punya segala macam ujian kelas dua belas yang menanti di depan mata, punya teman-teman yang bisa diajak becanda, dan tenta saja punya Jefri yang bisa dijadikannya wadah menumpahkan cerita.

Demikian petuah Jefri sore itu saat mereka duduk di tepi pantai, menyapa mentari yang beranjak menuju peraduan ternyaman. Maka, seusainya, Anna yang mulai dibius rasa nyaman.

Anna ralat klaim tentang Jefri yang tidak bisa dijadikan sebagai tempat curhat karena memang nyatanya, Jefri adalah sebaik-baik tempat untuk hal itu.

Seminggu berlalu.

Anna mulai terbiasa dengan atau tanpa kabar dari Kay.

Anna tak terusik ketika Kay asyik dengan kegiatannya di kampus sampai lupa memberi kabar, dan ia pun tak mencoba mengusik.

Balasan pesan dari Kay atau panggilan ketika menjelang tidur sudah tidak lagi istimewa untuk dinanti.

Penantian Anna mulai beralih.

Anak Abah Syaiful Rasyid Paling Ganteng

Otw.

Senyuman terbit di bibir Anna kala membaca pesan singkat yang teramat singkat dari Jefri. Ia sudah rapi dengan seragam pramuka yang ternampak kontras dengan kulit putihnya. Sedikit ia tata rambutnya menjadi bergelombang di bagian bawah.

Riang, Anna menuruni anak tangga sehabis menyambar tas dan kardigan hitam yang dahulu Jefri hadiahkan.

Namun, langkah Anna melamban seiring mata menangkap punggung laki-laki jangkung yang sedang bercengkrama dengan ayah dan ibunya di meja makan.

Tidak ada raut gembira.

Meski laki-laki itu adalah sosok yang sempat absen secara fisik dari hari-hari Anna.

Tidak ada yang bagus ketika menemukan Kay kembali, kecuali kabar bahwa laki-laki itu sehat-sehat saja.

Anna menyadari kalau ia tak begitu merindukan Kay.

Seulas senyum manis Kay tak segera merambat pada Anna yang masih terdiam di ujung tangga. Sentuhan di puncak kepala tak serta-merta menghadirkan rasa suka pada diri Anna.

Begitu pun sebatang cokelat yang Kay ulurkan manakala mereka berdua telah duduk di dalam mobil.

"Sebagai permintaan maaf karena akhir-akhir ini aku sering ngilang. Tahu lah, mahasiswa sesibuk apa."

Sepintas, Anna tersenyum. "Makasih."

Ia terima cokelatnya bukan berarti ia terima juga permintaan maaf Kay. Sesungguhnya, masalah di antara mereka bukan sesederhana Kay yang jarang ada waktu untuk Anna, melainkan sekompleks Kay yang menyediakan waktu untuk perempuan-perempuan di luar sana.

Jangan kira, Anna tidak tahu apa-apa. Anna tidak sebodoh itu untuk mengerti bahwa dirinya bukan satu-satunya yang Kay punya.

Beberapa kali jalan bersama, Anna kerap mengintip isi pesan di ponsel milik Kay. Jangan tanya apa isinya, sebab itu terlalu menyakitkan untuk dijabarkan. Singkat cerita, Kay kerap membagi perhatian untuk banyak perempuan.

Kata Kay, mereka semua hanya teman.

Kata Kay, di hatinya hanya ada Anna.

Beberapa perseteruan dituntaskan oleh Kay hanya dengan dua alasan itu. Begitu mujarab membungkam mulut cerewet Anna.

"Taruh dulu hp-nya, Na. Orang lagi diajak ngobrol juga."

Selalu, Anna tidak diperkenankan membagi atensi ke lain hal ketika Kay bicara, padahal laki-laki itu seringkali melakukan hal serupa. Tidak selalu mendengarkan cerita Anna dan malah sibuk berbagi cerita dengan entah siapa di ujung sana.

Ponsel Anna begitu cepat dijauhkan oleh Kay. Padahal kala itu Anna tengah mencoba mengabari Jefri yang sedang dalam perjalanan menjemputnya berangkat ke sekolah.

"Chat-an sama siapa, sih?"

Anna menghembuskan napas.

"Jefri."

"Masih suka bareng Jefri? Atau selama jarang sama aku, kamu terus-terusan sama dia? Bagus ya, cari kesempatan."

Selalu, Kay mempermasalahkan. Padahal, Kay sendiri tahu, bahwa Anna dan Jefri sedari dulu memang berteman. Padahal, Kay sendiri demikian, dan Anna tak diperkenankan untuk mempermasalahkan hal itu lebih jauh.

Sedikit tidak adil memang.

Anna bebaskan Kay bergaul dengan siapapun, sedangkan Kay mengekang Anna dari segi manapun.

"Udah dibilangin 'kan. Nggak usah deket-deket sama Jefri lagi. Kalo butuh apa-apa, cukup ke aku aja, Na."

Tak banyak omelan Kay yang Anna tanggapi. Terlalu lelah dengan percek-cokan yang sudah sering terjadi. Kini, Anna sadar, kalau pacaran tidak semenyenangkan itu.

Gerbang sekolah menjadi pemutus Anna dengan kemarahan Kay, tetapi menghubungkannya dengan—

"Jefri!"

kemarahan dari sosok yang berjalan dari arah parkiran motor. Ketika Anna tersenyum, menyapa, Jefri justru mengelos begitu saja.




Ketahuilah, diacuhkan Jefri terasa jauh lebih menyesakkan dari apa pun yang mengacuhkannya di dunia ini.

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang