78

329 70 6
                                    

"Becanda aja, kamu, Jef!"

Ajakan berpacaran tiba-tiba Jefri malam ini bukan hal yang murni Anna tak suka.

Hanya saja, sangat sulit dipercaya, mengingat Jefri pernah mengklaim dirinya sebagai kaum anti pacaran, dan mengingat bahwa sesungguhnya telah ada perbedaan status sosial yang kontras di antara mereka.

Mustahil rasanya, seorang lulusan sarjana satu kedokteran menginginkan Anna yang hanya tamatan sekolah menengah untuk jadi perempuanya. Di luar sana, banyak perempuan berpendidikan tinggi yang selevel dengan Jefri, dan Anna ini apa?

Tidak ada apa-apanya, apalagi dengan keadaan diri yang pernah dicicipi, Anna hilang seluruh nyali untuk menerima jikalau ucapan Jefri adalah sungguh.

Lagipula, saat itu Jefri ikut tertawa pula.

"Katanya, jangan serius-serius."

Benar bukan, bahwa Jefri sesungguhnya hanya bercanda?

"Ya, tapi jangan kelewatan juga becandanya."

"Emang kenapa?"

Kesungguhan Jefri adalah hal yang merepotkan, sebab Anna yakin jika dirinya akan bimbang antara menolak atau menerima. Maka, candaan seorang Jefri adalah hal yang melegakan, meski tidak benar-benar Anna inginkan. Sedikit kecewa, ada.

Rumit sekali seorang Anna, memang.

Singkat cerita, sekali lagi Anna tegaskan bahwa ajakan berpacaran dari Jefri malam ini bukan hal yang murni Anna tak suka.

"Takut baper."

Lagi pula, di dunia ini, perempuan bodoh mana yang akan menolak jika diajak menjalin hubungan oleh laki-laki yang ia suka? Mungkin, satu di antara seribu.

Jefri beranjak dari kursi. Senyum tipis masih mematri. Anna yang tengah sibuk menyeruput es jeruk dalam gelas, laki-laki itu beri usapan gemas di puncak surainya seraya berkata,

"Kalau baper, kabar-kabar, ya, Na."

Bergeming.

Anna rasakan euforia yang tak mampu dengan baik ia ekspresikan di muka. Sebuah punggung lebar tertutup kaos hitam dipandang. Sang pemilik sedang melakukan pembayaran untuk dua porsi nasi goreng dan dua gelas penawar dahaga, lalu kembali duduk untuk menanti dan menemani Anna menghabiskan sisa minuman.

Bedanya, kali ini, Jefri memposisikan diri di hadapan Anna, terang-terangan menatap.

"Cantik amat, sih, Neng."

Terang-terangan memuji.

Maka, kontan saja, Anna memalingkan wajahnya yang mendadak merona, berpura-pura memendar pandang dan mencari-cari, "Siapa?"

yang sedang Jefri sanjung.

"Yang nanya."

Hening seusai Jefri memberi jawab yang sesungguhnya tidak benar-benar dibutuhkan. Jelas-jelas, warung nasi goreng ini menjadikan Anna sebagai satu-satunya perempuan muda lagi jelita di antara semua pengunjung yang kebanyakan didominasi kumpulan keluarga. Ada juga satu yang duduk di paling pojok bersama seorang laki-laki, dan mustahil Jefri memuji perempuan yang sudah berpawang.

"Udah, ah, ayo, pulang." Anna beranjak berdiri.

"Nggak diabisin ini minumannya?"

"Enggak."

"Nggak sayang?"

"Sayang, sih."

"Tapi gengsi?"

Makin ke sini, Jefri makin ke sana.

Dan, Anna hanya bisa ternganga. Jefri yang dulu tidak pernah sefrontal ini.

Tanpa ada niatan menjelaskan celetukannya, Jefri hanya sedikit tersenyum, mengambil gelas Anna dan manghabiskan sisa minuman di sana.

"Besok malem ada konser Tulus."

"Terus?"

"Kalau kamu mau nonton, ...."



"... sama saya, boleh."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang