85

373 72 5
                                    

Petang ini, Jefri nanti Anna di dalam rumahnya. Ada sebuah film yang rencananya akan mereka tonton berdua.

Duduk di sofa, Jefri berkawan dengan perasaan yang masih sama menggebunya dengan penantian-penantian silam dan mungkin juga untuk masa yang akan datang.

Anna datang pada Jefri dengan dandanan yang luar biasa cantik. Gaun motif floral warna dasar putih tulang membalut tubuh ramping perempuan itu hingga lutut. Rambutnya yang panjang terurai dibiarkan jatuh melewati dua bahu.

Dahulu, Jefri selalu iri ketika Anna persembahkan tampilan jelitanya untuk Kay. Dahulu, Jefri juga pernah iri ketika Anna hadiahkan jam tangan kepada Kay.

"Suka, nggak?"

"Suka, hehe."

Namun sekarang, hal-hal semacam itu pada akhirnya terlimpah untuk Jefri pula. Baru saja Anna pasangkan sebuah arloji hitam di lengan kiri Jefri, berikut sebuah ucapan, "Selamat ulang tahun."

Disertai manis senyuman. Mereka masih duduk berdua di sofa. Jefri pandang Anna, pun sebaliknya. Jemari Anna masih bertengger di lengan Jefri sebelum kemudian beralih masuk ke dalam sebuah genggaman yang Jefri adakan.

"Makasih banyak, ya." Tak hanya itu, satu tangan Jefri yang lain sibuk mengusap puncak kepala Anna.

Ada jeda cukup panjang yang mereka ulur hanya dengan saling bertatapan. Ada jantung dua manusia yang berdegup sama tak karuan. Ada genggaman yang kemudian Jefri eratkan. Ada pula sepasang mata yang mulai terpejam seiring Jefri membuang sisa jarak yang ada di antara dua lisan.

Dahulu, Anna pernah mengajak Jefri mampir ke rumahnya yang saat itu kosong untuk mencoba hal yang menurut Jefri memalukan. Dan, sekarang, segala benda di ruang rengah rumah Anna menjadi saksi bahwa manusia itu mudah berubah.

Anna membuka mata setelah bibirnya menjadi tempat berlandas kecupan Jefri yang tak sebentar.

Lalu, Anna kembali memejamkan mata untuk sesi yang bukan hanya sebatas mengecup. Jefri dengan keahlian minim di bidang ini tengah mencurahkan perasaan secara nonverbal bahwasanya, ia begitu menyukai seorang Anna.

Ini pertama kali bagi Jefri sehingga senyum kikuk dan malu kontan saja diterima. Jefri menggaruk tengkuk yang tak gatal. Diliriknya Anna yang sedang mengeringkan bibir dengan jemari, tak kalah kikuk lagi malu meski ini bukan yang pertama kali.

Perasaan aneh di mana itu seperti ribuan kupu-kupu menari di dalam perut. Perasaan semacam ini sedang memenuhi jiwa sepasang manusia.

Menghuni mobil yang melaju normal, mata-mata mereka terkadang melirik pada satu sama lain, terkadang bersirobok lalu bersamaan akan sama-sama menerbitkan senyuman. Hal tersebut berlaku juga ketika mereka berdua duduk di dalam bioskop.

Selebihnya, ada kala di mana Jefri genggam jemari Anna tiba-tiba. Ada pula kala di mana Anna meminjam salah satu bahu Jefri untuk dijadikan sandaran.

Atas semua itu, baik Anna maupun Jefri, tak ada yang keberatan.

Semua itu dilakukan karena memang mereka berdua sama-sama menginginkan.

Jefri menginginkan Anna, pun sebaliknya.

Duduk di warung nasi goreng langganan, pembicaraan mereka adalah cerita mereka, bukan cerita tentang Anna dan Kay atau yang lainnya seperti dahulu kala.

Cerita dimulai dari sejak kapan Jefri menyukai Anna, dan sejak kapan Anna menyukai Jefri. Apa yang membuat mereka menyukai satu sama lain, apa yang tidak mereka sukai dari masing-masing.

Seporsi nasi goreng dengan tambahan setengah porsi milik Anna cukup untuk Jefri jadikan sebagai selingan ketika bercerita maupun mendengarkan cerita Anna dengan seksama.

"Jef?"

"Dateng, ya, Na."

Kembali mereka duduk di dalam mobil. Anna dengan paper bag berisi kebaya di pangkuannya, Jefri dengan raut memohonnya.

Namun, situasi kali ini tidak sehangat situasi beberapa saat silam.

"Kan waktu itu aku udah bilang, nggak bisa."

Kebaya yang waktu itu sempat Anna coba, sempat juga Anna tolak Jefri yang konon mau membelikannya dengan syarat Anna harus datang ke acara wisuda laki-laki itu, Anna hendak meletakkan itu ke jok belakang, tetapi Jefri menahan.

"Please, Na!"

"Aku kerja, Jef."

"Enggak bisa gitu ngambil libur dua hari aja?"

"Sehari aja nggak boleh, apalagi dua hari."

"Na!"

"Kalo nekat, aku bisa dipecat!"

"Nggak mungkin sampe segitunya lah, Na."

"Aku sakit aja masih tetep harus berangkat, Jef. Jaman sekarang nyari kerja buat lulusan SMA, susah. Aku mau makan apa kalo dipecat dari kerjaan, Jef?!"

"Saya nikahin kamu! Saya kasih kamu makan, Na! Nggak usah kuatir."

Suara Jefri yang meninggi adalah puncak perseturuan. Tangis dalam diam Anna adalah yang datang berikutnya. Dan, suara lirih Anna adalah penutup.

"Gampang banget, ngomongnya."

Yang datang berikutnya adalah rasa bersalah dan penyesalan. Mereka semua datang serentak pada Jefri sejak air mata Anna menitik untuk kali pertama.

Anna kemudian didekapnya.

"Maafin saya, Na."

[ ]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang