77

340 79 9
                                    

"Tumben abis."

Mungkin ini adalah kali pertama Jefri menemukan piring Anna benar-benar kosong tanpa sisa. Seporsi nasi goreng kala dulu-dulu tidak pernah cukup ditampung lambung seorang Anna. Maka dari itu, kalian pasti ingat bahwa Jefri kerap kali merelakan lambungnya menampung yang masih ada.

"Laper, ya, Na?"

Ada sedikit gelak berbunyi kecil diringi dengan bibir yang menyulam garis lengkung.

"Lebih ke sayang, sih. Di luar sana banyak orang yang makan aja, susah."

Lalu, Jefri berhenti tersenyum. Anna yang seperti bukan Anna, dipandangnya benar. Hendak Jefri pastikan bahwa perempuan di sebelahnya memang betulan Anna.

Sementara yang dipandang tak pernah memandang balik Jefri dengan benar. Sorot itu selalu berpendar ke mana-mana. Seolah ia tak menginginkan bola matanya menceritakan kejujuran.

"Saya penasaran."

"Soal?"

"Kamu."

Masih bertempat di penjual nasi goreng, di pinggir persimpangan jalan.

"Gimana, Na?"

"Gimana apanya, Jef?"

"Gimana di Australia?"

Jefri berhasil membuat Anna memindahkahkan tatap dari lalu lalang kendaraan kepada dirinya sehingga dapat Jefri lihat jelas kesedihan yang terkurung di balik itu, meski lisan Anna tak kalah jelasnya berkata,

"Baik-baik aja, kok."

Sebab kata-kata tak pernah lebih jujur dari bola mata.

"Serius?"

Anna mengangguk, kemudian tertawa kecil.

"Apa sih, Jef. Jangan serius-serius, kenapa!"

Lengan kiri Jefri didorong Anna pelan. Upaya untuk menghentikan laki-laki itu dari menatapnya dengan cara demikian, dengan cara yang seolah-olah ia tidak percaya.

Jujur, Anna takut ketahuan. Cerita-cerita pedih tentang dirinya di negeri orang biarlah menjadi rahasia ia dan semesta. Siapapun, temasuk Jefri, tidak perlu tahu. Oleh karena itu, Anna mesti menahan diri untuk tidak runtuh, untuk tidak menguak semua ke permukaan, dan untuk tidak terlihat seperti manusia paling menyedihkan di hadapan orang lain.

"Kamu gimana, Jef?"

Oleh karena itu, Anna hadiahkan pertanyaan yang sama kepada Jefri.

Embusan napas terdengar penat.

"Ya, lumayan, lah."

"Lumayan apa?"

"Lumayan berantakan, hahaha."

Kemudian mengalirlah dongeng dari mulut Jefri setelah nyaring sebuah tawa. Jefri ceritakan pada Anna, kehidupannya di Jakarta yang penuh huru-hara. Jam kuliah yang padat, praktik saban hari, ditambah tanggungjawab besar sebagai seorang ketua himpunan, ketua KKN, ketua UKM, ketua magang, dan hajat-hajat kampus lainnya yang enggan membiarkan Jefri rehat sejenak saja.

Salah siapa?

Salah Jefri, tentu saja.

Jefri mengaku pada Anna bahwa semua ia lakukan dalam rangka mengisi CV. Padahal, itu semua karena ia ingin menyibukkan diri dan meliburkan hati dari drama merindukan orang yang ia sayangi, tetapi anehnya, meski sudah sesibuk itu, hati Jefri masih saja merindu.

Bukan tentang keluarga, tetapi tentang Anna. Keluarga bisa Jefri temui kapan saja kalau ia mau, tetapi Anna tidak begitu.

Kala itu, Anna benar-benar di luar jangkauan Jefri.

"Kalau sibuk terus gitu, kapan nyari pacarnya?"

"Sekarang."

"Oh, sekarang lagi nyari?"

"Udah nemu."

"Eum, bagus atuh."

"Tinggal dianya mau atau enggak."

"Ya, tinggal tanyain."

Hening.

Hening.

Hening.

"Mau, Na?"

Rasa-rasanya, Jefri betulan sinting.

"Huh?"

Karena yang dulunya di luar jangkauan, kini telah berada di hadapan, sedang menatapnya dengan sejumlah kebingungan, tetapi segala yang tersemat pada diri perempuan itu selalu terlihat mengagumkan. 

Dalam parasnya yang nampak bak orang bodoh, mata Jefri tetap tak bisa berpaling. 

"Mau apa, Jef?"

Maka, Jefri enggan menahan lagi apa yang sedari dulu selalu ia tahan-tahan.



"Jadi pacar saya."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang