13

717 153 2
                                    

Tentang pelukan.

Jefri marah. Anna yakin.

Buktinya, sekarang.

Jefri baru saja mengabaikan lambaian tangan Anna ketika mereka berpapasan di kantin sekolah. Tidak ada sesi untuk Jefri bersedia memasang badan di belakang Anna ketika mereka berdesakan mengantri makanan, tidak ada Jefri yang bersedia memesankan segelas es teh tak terlalu manis banyakin es batunya dan sepiring siomay banyakin bumbunya.

Laki-laki itu memilih berkumpul bersama kawanan yang tentu tidak seribet Anna. Seperti menghindar. 

Sudah dua hari, Jefri pakai alasan kesiangan untuk tidak berangkat sekolah bareng Anna. Padahal dia tidak pernah absen sholat subuh. 

Alhasil, Anna berangkat sendirian, pakai ojek online. Ayahnya dinas ke luar kota tadi malam. 

Kini pun, di tengah-tengah banyak orang ia kembali sendirian. 

Anna kesepian di tengah-tengah keramaian.

Semua bercengkrama ria, hanya Anna yang bercengkrama dengan isi kepala.

Anna tidak pernah menemukan teman yang benar-benar bisa dijadikan teman. Entah apa salah Anna sampai-sampai dari sekian banyak geng tidak ada yang memperkenankan Anna masuk ke dalamnya.

Semua ini gara-gara Jefri.

Iya. Siapa lagi?

Jefri menolak segala macam pernyataan cinta dan ajakan berpacaran semua perempuan. Dan, mereka beranggapan bahwa Jefri hanya mau Anna. Padahal, Anna sama nasibnya dengan mereka.

Ambil saja, Elisa sebagai contoh. Anna baru tahu alasan sebenarnya Elis menolak ajakan pergi ke taman hiburan liburan semester lalu adalah karena ia malu. Elis adalah kaum yang Jefri buat patah.

"Lebih baik sakit hati-lah, daripada sakit gigi. Sakitnya beneran."

Begitu kata Jefri, ketika Anna mencecar laki-laki itu.

Kini, Elis adalah kaum yang anti Anna.

Iya, sama seperti mayoritas siswa perempuan, Elis bilang Anna adalah alasan Jefri menolaknya. Anna sudah coba jelaskan, bahwa mereka hanya teman dan akan selalu menjadi teman, Elis tetap kukuh menyangka Jefri menyukai Anna.

"Orang, Jefri-nya sendiri yang bilang, Na."

"Bilang apa emang dia?"

"Tanya sendiri, deh, sama anaknya. Kan kalian tiap hari bareng."

Anna frustasi. Elis tidak membagi tahu.

"Jef, kata Elisa, kamu suka aku."

"Salah denger kali dia."

Jefri ngelak melulu.

Usapan pelan di bahu membuyarkan lamunan Anna seketika. Anna setengah tersentak.

"Siang-siang ngelamunin apa, sih Sayang?"

Kay menghuni kursi kosong di depan Anna. Senyuman manis laki-laki itu menular pada Anna yang hanya menggeleng.

"Ayo, Bro!"

Kali ini tepukan kembali datang. Di bahu Kay. Dari temannya yang sudah menggenggam semangkuk bakso. Isyarat agar Kai gabung ke meja yang ramai dengan sekelompok senior purna kelas dua belas tetapi masih suka nongkrong di katin sekolah karena tidak punya kesibukan. 

Mereka semua menggerakkan dagu. Isyarat kedua setelah Kay mengabaikan satu.

Anna ditinggalkan senyumannya seketika sebuah seruan menggema lantang, dan 

barangkali,

semua telinga terpasang.




"Gue sini aja deh. Nemenin Pacar."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang