76

329 81 5
                                    

Sudah setengah jam sejak toko kue ditutup, Anna masih betah tinggal di emperan. Tawaran pulang bersama yang diajukan beberapa rekan kerjanya ditolak. Tawaran dari laki-laki yang kerap memberikan jasa tumpangan pun bernasib sama. Enggan pula Anna memesan ojek.

Maunya adalah entah.

Anna sendiri bingung. Harus pulang bagaimana, dan—

"Nomor saya masih yang lama, Na."

—harus diperlakukan seperti apa, perkataan Jefri siang tadi. Haruskah Anna menghubungi?

Setelah itu, lalu apa?

Minta Jefri datang menjemput, begitu?

Jujur saja, Anna terlalu malu, tetapi juga terlalu mau.

Layar ponsel menampilkan nomor lama Jefri, yang ajaibnya masih Anna ingat meski sudah pernah disingkirkan bersama kartu prabayarnya yang juga lama.

Harus Anna awali dengan apa, pesan pertamanya untuk Jefri setelah sekian lama?

| Jefri |

Jefri. |

| Iya.

Lama sekali, Anna menanti balasan dari satu yang ia kirimkan. Dan, setengah jamnya berbuah sepatah kata yang membuat perempuan itu mengurungkan niat untuk mengirim pesan lainnya.

Hingga suatu masa, terbit satu pesan masuk dari seseorang yang nyaris membuatnya berputus asa,

| Jefri |

| Siapa?

Anna. |

Jefri memanggil ...

***

"Gue cabut duluan!"

"Lah, mau ke mana, Jef?"

Jefri tepuk pundak Bang Indra, senior kampus yang kebetulan satu kota dengannya. Teman-teman lainnya dengan latar belakang sama, ia beri lambaian. Lapangan badminton sewaan tergesa ditinggalkan. Jaket dan tas selempang dibawanya berlarian menuju parkiran.

Panggilan tak lebih dari dua menit menjadi gerangan. Berlangsung beberapa saat silam. Dari nomor tak dikenal yang ketika Jefri bertanya, "siapa?"

pemiliknya mengaku,

"Anna."

Jefri genggam erat botol mineral di tangan, menahan bibirnya agar tidak melukis lengkungan kala panggilannya disambut salam dari perempuan di seberang.

"Belum pulang, Na?"

"Belum."

Hening. Yang terdengar hanya samar-samar suara lalu lalang kendaraan.

"Saya otw."

"Ke mana?"

"Jemput kamu."

***

Padahal, Anna tidak minta dijemput.

Namun, rasanya membahagiakan sekali menerima perlakuan semacam ini dari Jefri, perlakuan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, sebelum jeda berkepanjangan yang Anna ciptakan sukses memisahkan mereka berdua.

"Laper, nggak, Na?"

Anna mengangguk.

"Makan nasi goreng deket simpang yang dulu kita sering ke sana, mau?"

Setelah mencoba mengingat, Anna tersenyum, "Boleh."

Maka, berpaculah kendaraan Jefri dan jantung dua manusia, lebih kencang dari biasa.

Tempat yang mereka kunjungi tak banyak berubah. Kelezatan makanan yang disajikan pun tak berubah. Dan, satu hal lagi yang tak berubah hingga kini adalah rasa dua manusia.

Sembari menikmati seporsi, Anna yang duduk bersisian dengan Jefri di atas kursi kayu, mengamati sekitar lalu bergumam,

"Udah lama banget nggak ke sini."

"Kangen, nggak?"

Dan, atas pertanyaan Jefri, Anna menjawab dengan sedikit senyum, "Kangen."

Lantas mata dengan mata bersipandang. Jefri tersenyum pula. Kini, justru Anna yang terbius senyap setelah mendengar Jefri berucap,


"Saya juga."

[ ]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang