33

459 94 5
                                    

Di kantin, di blok Teh Una berjualan, Jefri sudah mengangkat tangan hendak memesan.

"Teh Una, nasi goreng dua sama es teh-nya dua, ya."

Namun, yang nyaring duluan adalah suara seorang perempuan. Familiar sekali di telinga Jefri.

Menoleh ke sebelah, Jefri menemukan Anna bersama senyuman lebarnya. "Aku bayarin, tapi nanti ngikut pulang"

Tiada balasan atas senyuman dan ajuan yang Anna berikan.

"Ngikut mah ngikut aja, Na."

Sebatas itu, kemudian Jefri berlalu ke meja paling sudut yang sudah diisi Taufan dan Doni.

"Punteun, dong. Tuan Putri mau duduk."

Taufan tahu, Anna menginginkan tempat duduknya saat ini, tempat di sebelah Jefri. Namun, laki-laki itu pura-pura tuli. Fokus ia dengan game-nya tanpa menghiraukan Anna.

"Topan!!!"

"Apaan sih, Na, Topan, topan. Lu kira angin. Duduk noh di samping Doni 'kan kosong."

Balasan Taufan terdengar sewot.

"Nggak mau, maunya di samping Jefri."

"Ah, modus lu." Laki-laki itu sesungguhnya tahu betapa keras kepalanya seorang Anna, tetapi ia terlanjur malas mengalah.

"Taufan, ih."

"Duduk situ, Na!"

Sampai kemudian instruksi Jefri terdengar. Anna mengerucutkan bibir, tetapi lantas patuh, menghuni kursi di sebelah Doni.

"Ngapain sih lu tiba-tiba nyamperin? Nggak ada angin nggak ada ujan. Nggak takut dijauhin temen-temen lu lagi gara-gara caper mulu sama Jefri? Ya, nggak, Don?"

Masih Taufan yang terus mencecar Anna. Doni terkekeh sebentar. "Jangan gitu, lah, Pan. 'Kan Anna sekarang udah punya ayang. Ya, nggak, Na?"

Anna hanya tersenyum tipis menanggapi Doni. Tidak terlalu bangga dengan statusnya yang sudah berpunya saat ini.

"Udah bagus lu kayak kemaren-kemaren dah nempel sama pacar lu. Ya walaupun ada yang rada galau. Ya, nggak, Jef?"

Nasi goreng pesanan Anna dan Jefri datang. Omongan Taufan tak dihiraukan. Jefri yang sedari tadi tak ikut nimbrung makin bungkam saja sebab mulutnya tersumpal makanan.

"Nggak. Maunya nempel sama Jefri."

Anna menanggapi meski dengan jeda berpikir cukup lama. Ia pisahkan acar dari nasi goreng di piringnya.

"Hoho, kenapa, nih? Perang sama pacar?"

Anna diam. Pergerakannya memisahkan acar dari nasi sempat terhenti sebentar sebelum berlanjut lagi.

Di seberang sana, Jefri hanya menggerakkan bola mata. Sedikit.

"Aku perhatiin kamu akhir-akhir ini jarang bareng Bang Kay, Na. Kemana emang dia?" Pertanyaan kali ini ialah dari Doni.

Anna beri seulas senyum. "Sibuk."

Perempuan itu memindahkan piringnya ke hadapan Jefri. "Aku lupa kamu nggak suka acar. Jadi, tuker aja, ya. Udah aku pisahin acarnya."

Semua bersipandang. Anna dengan Jefri. Doni dengan Taufan.

Hening.

Hening.

"Modus mulu nih satu spesies betina." Suara Taufan kembali terdengar.

Tiada balasan dari sasaran. Anna intens menyuap nasi ke dalam mulut. Karena memang sudah habis separuhnya oleh Jefri, Anna lebih dulu selesai.

"Aku bayar dulu, ya." Anak itu berangkat menuju hadapan Teh Una.

Bahu Jefri ditepuk pelan. Taufan menangkap basah ia memperhatikan punggung Anna lama-lama. "Inget bro, pantang baper sama pacar orang."

"Ayo, ah, cabut. Tinggalin aja si tukang modus." Taufan beranjak, diikuti Doni.

Sementara Jefri memilih menghampiri Anna.

Tertegun, Anna merasakan jemarinya digenggam lembut. Wajah rupawan berhias kebekuan adalah milik Jefri ketika Anna mendongak dan menatapnya.

Genggaman lepas. Anna rasakan sesuatu mengganjal di tangannya. Ternyata uang pecahan lima puluh ribuan diselipkan Jefri di sana.

Dahi Anna berkerut kemudian terurai segegas Jefri bersuara,



"Saya ada rapat bareng anak OSIS buat bahas dies natalies. Kayaknya bakal lama, jadi kamu mending pulang bareng Bang Kay aja."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang