49

475 99 6
                                    

Anna hampir tidak mengharapkan apa-apa lagi dari seorang Kay.

Perhatian, waktu, kasih sayang, atau apa pun yang identik dengan pacaran. Semuanya semakin terdengar seperti omong kosong saja, meski tidak ada yang berubah dari status mereka berdua.

Anna masih pacar Kay.

Kay masih pacar Anna.

Namun, satu sama lain kini sudah tidak lagi saling.

Ataukah sebenarnya, perasaan memang sudah kering? Perasaan Kay pada Anna, begitu sebaliknya?

Kalau boleh jujur, dari lubuk hati Anna yang terdalam, ia masih menyayangi Kay. Entah Kay bagaimana terhadapnya, Anna tidak tahu.

Anna tidak pernah menghendaki sebuah perpisahan, tetapi apa artinya kebersamaan jika pada akhirnya mereka tetap masing-masing tanpa ada saling?

Kak Kayrendra J.

Kak, hari ini bisa jemput aku?

Lagi sibuk banget, ya, Kak?

Ya udah, deh. Aku pulang sendiri aja.

Sorry, Na.

Masih nugas sama temen kelompok.

Sore ini, harus beres.

Jam limaan paling beresnya.

Nunggu bentar, mau?

Letih, napas Anna terhembus berat.

Berjalan ia di antara keramaian koridor sehabis bel pulang. Nyaris tiap-tiap pasang mata mendamba rumah, sebagaimana Anna. Mungkin, Senin sudah benar-benar dikutuk jadi hari yang amat melelahkan bagi semua orang.

Dibaca lewat notif, Anna tidak membalas pesan Kay. Justru ia beralih aplikasi, hendak memesan ojek online agar bisa secepatnya pulang.

Belum saja kehendak terpenuhi, sebuah tangan menarik ransel Anna hingga anak itu tertarik ke belakang.

Anna mau marah, tetapi berakhir sumarah sebab seorang budiman baru saja menghindarkannya dari takdiri sial menabrak pot bunga raksasa yang diletakkan dengan amat sengaja di tengah-tengah koridor.

"Kalo jalan, tuh, liat depan, Na!"

Terlebih, jika wajah orang itu menyerupai malaikat, bersinar diterpa cahaya mentari sore. Maka, Anna rasa cukup dengan memamerkan senyuman saja sebab seisi kepala telah kehilangan rangkaian kata dan hanya sibuk menyanjungkan puja teruntuknya.

"Pulang sama Bang Kay?"

Hilang lambat laun senyuman Anna ketika Jefri bertanya. Ia menggeleng. "Sama Kang Ojek."

Lalu sekali lagi ia kirim seulas senyum tak tulus sambil menunjukkan layar ponsel.

"Cancel aja pesenannnya."

Dua alis Anna bertaut mendengar titah Jefri. "Entar aku pulang sama siapa dong?"

"Sama saya."

Makin-makin, Anna dibuat bingung menatap laki-laki yang menderap langkah sejajar dengannya kini, sedang sibuk melepas hodie.

"Kamu nggak pulang bareng Ranya, Jef?"

Sejenak hening tercipta.

"Sekarang hari apa?"

Anna pukul pundak Jefri pelan. "Pake nanya. Ya, Senin, lah."

"Berarti enggak."

"Emang ada jadwalnya gitu?"

"Ada."

"Setiap hari apa?"

"Rabu sama Sabtu."

"Udah kayak les privat aja."

"Emang."

"Hah?"

"Emang saya ngajar Ranya les."

Kontan, tungkak Anna melamban berayun. Kelopaknya berkedip banyak kali. Ada yang mengejutkan di sini, dari ucapan Jefri.

"Seriusan, Jef?"

"Serius, Na. Ngapain juga saya boong. Dosa." Kala itu, Jefri ikut melangkah lebih pelan.

"Dari kapan?"

"Udah agak lama sih, lumayan sebulanan."

"Kok bisa?"

"Ya bisa. Namanya juga butuh duit. Kan kamu tahu saya nunggak SPP tiga bulan. Saya nggak tega minta uang ke Abah karena waktu itu lagi banyak kebutuhan buat biaya rumah sakit Nenek."

Sumpah, Anna tidak tahu apa-apa.

Anna tidak sedetikpun mengamati kartu pembayaran SPP milik Jefri yang waktu itu Bu Galuh titipkan padanya. Anna lebih fokus men-stalking akun sosial media milik seorang perempuan pecinta alam bernama Andin yang saat itu menandai Kay di postingan fotonya.

Masalah yang dihadapi Anna tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Jefri. Milik Anna hanya sedangkal hubungan percintaan, sedangkan Jefri sudah bicara sedalam bagaimana mencari penghasilan.

Maka, Anna pun hanya bisa terdiam.

"Nih, pake biar nggak dingin!"

Uluran hodie dari Jefri tak segera Anna terima sebab akalnya tengah sibuk merajut-rajut benang pemikiran agar sepenuhnya paham bahwa di masa sekarang, ia tak mesti membuang-buang waktu untuk hal yang sia-sia macam menjalin dan merawat cinta serta mempertahankannya.

Seharusnya, Anna bisa memperhitungkan, antara Kay dan Jefri, siapa yang lebih memberi perhatian, siapa yang lebih menyediakan waktu, serta siapa yang lebih penuh kasih sayang.

"Ngelamunin apaan sih, Na?"

Jefri pakaikan hodie miliknya ditubuh Anna yang masih tak jua bersuara.

"Ngelamunin kamu." Sampai, lirih Anna kemudian menjawab. Kepalanya terangkat, menyambut dua bola mata yang kini tengah menjatuhkan tatap ke bawah, tepat padanya.

Ada senyum yang lantas Jefri suguhkan. Ia usap hati-hati puncak kepala Anna.

"Udah nggak usah dipikirin. Saya nggak pengen nambah beban pikiran kamu. Entar makin kurus."

Anna tak tertawa meski ada kelakar di dalam ucapan Jefri barusan. Sebatas menarik bibir mendatar lalu menunduk.

"Jefri."

"Hm."

"Maafin aku, ya."

"Kok minta maaf?"

Sepintas, Anna kembalikan pandang teruntuk Jefri yang nampak keheranan sebelum dua pasang sepatu yang saling berhadapan, menapak di atas tanah menjadi pelabuhan bagi sorot sesalnya.



"Maaf karena aku selalu nggak bisa nolongin kamu waktu kamu susah. Padahal, kamu selalu nolongin aku."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang