72

332 79 17
                                    

Hari-hari berikutnya setelah sepenggal percakapan malam itu.

Setelah sedikit gengsi berupaya diturunkan Jefri dengan menyuruh Anna singgah ke rumahnya kalau lengang, tak dipungkiri, kedatangan Anna menjadi hal yang Jefri nanti-nanti, tapi perempuan itu bahkan belum juga mengetuk pintu barang sekali.

Mungkin sedang sibuk.

Mungkin lelah setelah seharian bekerja.

Mungkin sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa.

Dan, mungkin-mungkin lainnya mencoba Jefri jejalkan dalam pikiran sendiri agar tak berujung terlalu kecewa.

Namun, di antara banyak kemungkinan yang berseliweran di kepala, bodohnya Jefri tidak sekalipun memikirkan bahwa sesungguhnya Anna mungkin—

"Makasih banyak, ya. Hati-hati di jalan."

—tidak ingin bertemu dengannya.

Malam ini, sepasang mata Jefri mencuri lihat dari beranda rumah menuju ke depan gerbang hunian di seberang jalan. Ditangkapnya pemandangan seorang perempuan mengulurkan helm kepada sosok laki-laki di atas motor yang berjasa mengantarnya pulang dengan selamat;

Ia sajikan senyuman manis yang tak pernah gagal menyebabkan hati Jefri beserta hati-hati lainnya jatuh—sebab sebuah tangan yang bukan milik Jefri seakan ringan saja mengusap surai panjang Anna dan menatap dengan cinta,

sebab Jefri pun ingin melakukan hal yang serupa tapi apa daya, yang dapat Jefri lakukan hanya meninggalkan beranda dan kursi-kursi di sana yang menjadi saksi penantiannya atas kunjungan Anna dan yang dibayangkannya akan menjadi tempat cerita-cerita panjang mengalir dengan sempurna dari lisannya dan juga Anna ketika mereka dulu sempat tak saling membeli kabar berita.

Namun, penantian dan bayangan adalah dua yang tak pernah lunas dibayar.

Esok hari melahirkan jumpa Jefri dengan Anna secara tak sengaja, tapi tak serta melahirkan sapa dari keduanya. Anna hendak berangkat ke tempat kerja, Jefri baru kembali dari kegiatan lari pagi.

Anna pergi dengan ojek yang di pesannya, Jefri bergegas masuk ke rumah.

Ini bukan yang Anna inginkan?

Menjadi dua orang yang seolah tak pernah saling mengenal.

"Jef, Umi sama Abah pulang besok siang."

"Iya, Mi."

"Di kulkas masih ada sayur tadi siang. Dipanasin aja."

"Iya ini lagi dipanasin."

"Oh iya, coba tanyain Anna udah makan malam belum. Kalau belum, sekalian anterin sebagian sayur sama lauknya buat dia."

"..."

"Jef!"

"Iya nanti Jefri tanyain."

Sambungan telepon ditutup. Jefri menghela napas. Semesta tidak pernah benar-benar mendukungnya mengasingkan Anna.

Hendak Jefri abaikan titah Umi, tapi pada akhirnya tangan beroperasi cekatan mewadahi makanan, sementara kakinya bergerak cepat tak mengindahkan gelegar instruksi di kepala untuk tidak mendatangi rumah Anna atau ia akan—

"Makasih banyak, ya. Malah jadi ngerepotin gini."

"Nggak apa-apa kok. Buat kamu apa sih yang enggak."

—pulang dengan membawa lagi setumpuk kecewa.

Langkah kaki Jefri berputar arah sebelum mencapai gerbang rumah Anna usai melihat seseorang datang lebih dulu ketimbang dirinya, membawakan Anna makanan mahal secara sukarela.

Dua kotak bekal yang tadinya berada dalam genggaman Jefri berakhir teronggok malang di atas meja makan. Isinya utuh, yang tidak utuh hanya akal sehat Jefri.

Setelah dibuat kecewa berulang kali, ia tetapi saja ingin menghampiri.

Tengah malam, tepat ketika listrik komplek padam, Jefri kelimpungan mencari-cari lilin di sudut-sudut rumah dengan berbekal secuil lentera dari ponselnya. Tiada menemukan barang satu, ia memacu motornya menuju warung kelontong di ujung jalan, tanpa peduli hujan.

Jefri cemas.

Jefri masih sangat ingat akan perempuan yang konon takut gelap.

Maka, berlarian dengan sebatang lilin yang disimpan di balik saku hoodie, Jefri mengetuk pintu rumah Anna dan disambut dengan hal yang tak terduga bahwa—

"Kenapa Jef?"

Anna baik-baik saja.

Anna tidak lagi takut gelap.

Anna bahkan telah bisa menyalakan lilin sendiri.

Terbukti, dari ruang tengah yang tersembunyi di balik punggung Anna memancar cahaya temaram lilin yang tersisa setengah pertanda itu telah dinyalakan lama sebelum Jefri datang.

Lilin yang Jefri bawakan mau tak mau harus kembali masuk kandang, dikantongi Jefri cepat-cepat agar Anna tidak lekas sadar atas ketololannya.

Hei, Anna bukan anak SMA lagi.

Mengapa Jefri masih saja berpikiran bahwa perempuan yang ia hadapi sekarang adalah sosok yang sama dengan perempuan yang dulu kerap menumpang di jok motornya, yang kerap ia ajari matematika, dan yang ia tahu seluk beluk tentang apa yang ia suka dan apa yang ia benci?

"Nggak apa-apa. Maaf, ya, ganggu."

Sekarang Anna berbeda, dan Jefri tidak tahu apa-apa soal Anna.

Melangkah, tapi ditahan.

Ujung lengan hoodie hitam Jefri digenggam ujung jari Anna.

Tangan Jefri ditarik keluar dari saku hoodie dan kini terpampanglah benda yang Jefri sembunyikan sedari tadi. Anna ambil alih itu.

"Makasih banyak, ya."

Nyatanya, ketololan Jefri disadari. Sorot mata Anna mengandung kesedusedanan seolah Jefri dengan pakaiannya yang setengah basah adalah makhluk paling menyedihkan di muka bumi.

Sebagai ganti atas sebatang lilin yang susah payah Jefri hantarkan, Anna pinjamkan sebuah payung tatkala laki-laki itu hendak beranjak sebab deras masih turun dari mendung di atas.

Katanya, "Jangan hujan-hujanan, nanti sakit."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang