89

286 66 9
                                    

Terhitung, satu tahun sudah, berjalan hubungan antara Anna dan Jefri.

Tidak banyak waktu dihabiskan dengan temu. Setelah Jefri resmi ditempatkan bekerja di rumah sakit besar, di Ibu Kota, pertemuan hanya diadakan satu kali dalam sebulan.

Pada tiap-tiap penghujung pertemuan, selalu tak lupa Jefri sematkan sebuah ucap.

"Bertahan sampai tahun depan, ya, Na!"

Sampai akhirnya, pertemuan ini pun tiba.

Pertemuan yang—rencananya—bukan lagi ucapan itu yang akan Jefri sematkan, melainkan benda berkilau di dalam kotak kecil merah merona yang satu menit lalu ia sodorkan seusai berkata,

"Makasih banyak sudah mau bertahan sejauh ini sama saya."

Setelah sebuah kesalahan fatal yang Jefri perbuat pada malam Anna bermalam di tempatnya, setelah ribuan kali merasakan kekhawatiran jikalau Anna mungkin akan meninggalkannya, Jefri bahagia menemukan kenyataan bahwa sampai sekarang mereka masih bersama-sama.

Sebuah restoran, Jefri reservasi secara pribadi agar leluasa bicara perihal keinginan yang selama ini ia tahan-tahan.

Asal kalian tahu saja, ada banyak kalimat yang Jefri hapalkan untuk ia utarakan pada momen ini, ada banyak percobaan di depan cermin, ada banyak perasaan berkecambuk dalam dadanya. Akan tetapi, lisan laki-laki yang terlampau gugup itu hanya sanggup berkata,

"Jadi istri, ya, Na!"

Perempuan cantik di hadapan Jefri, untuk waktu yang cukup lama, hanya terdiam.

Bak orang tolol, Anna hanya menatap bergantian sebuah cincin dan Jefri yang lebih-lebih tololnya. Gaun hitam tanpa lengan yang menjangkau lutut itu diremas ujungnya.

Ini tidak seperti adegan lamaran dalam film romantis yang kerap ditonton banyak orang. Tidak ada kebahagiaan menoreh di kedua mata sang perempuan. Anna—agak—ketakutan.

Takut yang sungguhan bermuara pada Jefri tepat setelah Anna dorong kembali benda pemberiannya.

"Jefri, maaf."

Satu untaian kalimat sanggup memusnahkan segala bentuk senyuman di wajah Jefri.

"Aku nggak bisa."

Aku nggak bisa

Aku nggak bisa

Aku nggak bisa

Perkataan Anna menggema di dalam sebuah ruang di mana hanya Jefri yang bisa mendengarnya.

Nggak bisa apa, Na?

Pertanyaan ini pun berakhir sama. Tak sempat Jefri utarakan sebab Anna telah meninggalkan kursinya, meninggalkan restoran, dan meninggalkan Jefri tentu saja.

"Anna!"

Teriakan sekeras apa pun tak berbuah sambut. Yang dipanggil terlampau gegas, maka Jefri pun bergerak melampauinya.

Ponsel yang hendak Anna gunakan untuk memesan ojek online dirampas, begitu pula sebuah lengan. Penolakan diterima berkali-kali, tapi Jefri tak perduli. Ia tetap paksa pemiliknya untuk masuk ke dalam mobil.

"Saya udah berkali-kali ngomong, kamu pergi sama saya, pulang juga harus sama saya, ngerti nggak!"

Duduk, Anna dalam kebisuan.

Setelah meninggikan nada bicara juga menyakiti lengan Anna dengan cengkramannya, Jefri merasa berdosa. Ia melihat sudut-sudut mata perempuan itu sembab. Ia melihatnya mengusap pergerlangan tangan yang berhias kemerahan.

"Maaf saya agak kasar."

Jefri tidak dalam kondisi akal yang waras. Siapa pun akan sama gilanya dengan ia sekarang. Hubungan yang ia pikir baik-baik saja, tiba-tiba diputus begitu saja. Perempuan yang dicintai dan—dianggap—mencintainya, menolak untuk dinikahi tanpa kejelasan sebab.

Dan bahkan, jemari Jefri yang bergerak turut mengusap-usap lengan Anna disingkirkan juga.

"Kenapa, Na?"

Anna diam.

"Kenapa nggak bisa?"

Padahal Jefri sudah bertanya selembut yang ia bisa, meski ingin hati memaki-maki.

"Kamu beneran sayang 'kan, Na, sama saya?"

Anna masih diam. Kali ini menunduk sangat dalam.

"Anna, jawab!"

Mobil ditepikan. Jefri khawatir fokusnya akan sama acak-acakan dengan perasaannya sekarang.

"Ada laki-laki selain saya, Na?"

Mendongak, Anna menggeleng pelan. "Nggak gitu, Jef."

"Terus kenapa?!"

Anna kembali diam berkepanjangan.

"Satu tahun, loh, Na. Bukan waktu yang sedikit. Perasaan saya juga bukan yang baru ada kemarin sore. Kenapa tiba-tiba kamu kayak orang nggak punya hati nurani begini?"

"...."

"Kamu kira satu tahun ini, saya cuma mau main-main aja sama kamu? Enggak, Na!"

"...."

"Kalau kamu dari awal niatnya cuma mau main-main sama saya, kalau kamu emang dari awal udah berencana nggak mau saya jadi suami kamu, mending kita nggak usah pacaran. Atau lebih baiknya kita nggak pernah ketemu lagi. Saya capek dengan keegoisan kamu, Na! Capek!"

Dua manusia di dalam mobil itu sama-sama mengusap wajah. Jefri berupaya membuang kebas, sedangkan Anna berupaya membuang beberapa yang menetes bebas.

"Maaf aku egois. Maaf kalau aku bikin kamu capek, cuma bisa ngerepotin kamu. Tapi asal kamu tahu, aku sayang sama kamu, cinta sama kamu, dan nggak pernah ada laki-laki manapun yang bisa nyingkirin kamu dari hati aku. "Cuma kamu, Jef! Aku mau kamu selamanya, aku mau jadi istri kamu, tapi nggak bisa."

Jefri berusaha menelaah maksud ucapan Anna tapi gagal. Masih saja timbul pertanyaan yang jawabannya belum ditemukan.

"Kenapa nggak bisa?"

Hening.

Sepi.

Senyap.

"Kenapa, Na?"

Sepintas, Anna tatap Jefri.

Laki-laki itu menanti. Sementara Anna berusaha menguatkan hati sebab kita tiba waktunya menguak rahasia yang selama ini ia simpan dengan hati-hati.



"Aku udah rusak, Jef."

[ ]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang