66

487 87 10
                                    

Pagar rumah dibuka. Kemunculan Jefri dari dalam mobil disambut Anna dengan raut penuh suka dan sedikit kaget juga.

"Kok cepet banget? Aku belum siap-siap."

Pasalnya ini belum genap lima menit sejak sambungan telepon ditutup. Dan, ketahuilah, waktu sesingkat itu bahkan tidak cukup untuk Anna berpikir akan pakai baju apa, apalagi menyamarkan kantung di bawah mata.

Bisa Jefri lihat dua, sangat kentara, tetapi ia tak bertanya, melainkan hanya sebatas berkata, "Ya udah sana, siap-siap."

Jefri mengekori Anna yang hendak masuk setelah menanggalkan sepasang sepatunya.

"Mau minum apa? Teh? Kopi? Jus?"

Mengekor pula Jefri menuju dapur untuk kemudian mendekat pada Anna yang sibuk meneliti isi lemari pendingin.

"Udah sana kamu siap-siap aja!"

Anna tersenyum, patuh. Beberapa langkah ia beranjak, kemudian menoleh.

"Jef."

"Hm."

"Lama nggak apa-apa? Aku belum mandi sore tadi."

Bergulir pandangan Jefri pada Anna. Sejenak ia terdiam.

"Biasanya juga lama," cibirnya kemudian, setengah bercanda. Sedang Anna menguak senyuman lebar tanpa dosa.

Menaiki dua anak tangga, sekali lagi Anna menyembulkan kepala.

"Jef!"

"Iya?"

"Tungguin, loh, ya."

"Tinggalin."

"Jefri!"

"Iya, ditungguin."

Kembali, senyuman dihadirkan Anna tanpa segan. Jefri balas dengan beberapa gelengan dan satu untaian bertanda seru.

"Jangan kebiasaan mandi malem-malem, Na!"

Tiada jawab. Jefri harap seseorang di lantai dua sana dengar.

Isi lemari pendingin dapur Anna cukup lengang. Tidak ada jus seperti tawaran Anna beberapa waktu lalu. Teh atau kopi butuh seduhan. Dan, bukannya malas menyeduh, Jefri hanya butuh sesuatu yang bisa dinikmati cepat tanpa drama tiup-meniup atau tenggorokan terbakar.

Singkatnya, Jefri butuh pendingin untuk jiwanya yang tadi sempat terbakar amarah usai mendapati Om Wisnu datang ke rumah, menemui Abah dan berkesah pasal keluarganya yang kini berantakan dengan keadaan diri yang tak kalah berantakan.

Dari balik pintu kamar, Jefri dengar semua. Cerita-cerita pilu Om Wisnu tentang istrinya yang ternyata mendua, dan juga tentang Anna. Om Wisnu bukan yang tidak tahu jika Anna kerap menangis diam-diam.

Jefri telah tahu. Oleh sebab itu, ia tak bertanya ke mana Mamah dan Papah Anna, tak juga bertanya tentang pecahan-pecahan guci dan gelas kaca yang tadi ia lihat di tong sampah depan rumah Anna, juga tentang dua buah kantung mata milik Anna.

"Jefri!"

Tersedak air mineral yang sedang diteguk di tengah-tengah aliran ruwet pemikiran, Jefri mengangkat dagu dan menemukan Anna hanya membalut tubuh dengan sehelai handuk. Jefri bukan hanya tersedak di tenggorokan, tetapi juga di penglihatan.

"Aku bagusnya pake baju apa?"

Termangu kelu, Jefri harus berusaha keras mengalihkan pandang dulu baru bisa menjawab.

"Apa aja. Asal jangan pake handuk doang kayak gitu."

Sedetik kemudian, Anna meringis direguk malu lalu berlalu dengan buru-buru.

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang