46

465 92 37
                                    

"Nggak gitu caranya, Na."

Anna mendongak, setengah kaget melihat keberadaan Jefri di kelasnya yang sedang ditinggal guru matematika. Jefri huni paksa kursi kosong yang entah punya siapa di depan Anna. Ia jelaskan secara terperinci rumus untuk menjawab persoalan rumit di buku Anna, tetapi tak sampai beres betul.

"Apaan sih, Jef? Aku bisa sendiri, kok. Kamu ngapain di sini, udah sana balik ke kelas kamu."

Anna menginterupsi seraya menjauhkan buku-bukunya.

"Saya abis ulangan Kimia dan udah beres. Ngapain balik ke kelas? Mending di sini ngajarin kamu."

"Aku nggak mau diajarin kamu."

"Kenapa?"

"Ngrepotin."

"Kayak sama siapa."

"Aku maunya diajarin Kak Kay aja."

"Kata kamu, Bang Kay suka marah-marah kalo lagi ngajarin kamu."

"Seenggaknya, dia pacar aku bukan pacar orang."

Kontan, Jefri diam.

Hening di antara mereja meradang. Hanya kebisingan sekitar yang menjadi penengah. Sampai kemudian Jefri lenyap dari pandangan mata Anna, digantikan kekosongan yang merayap menuju benak.

Bel pulang meraung.

Anna sengaja menjadi yang paling akhir keluar dari kelas.

Mengejutkannya, ada Jefri yang duduk menanti di depan kelas.

"Pulang sama saya, ya." Berjalan Jefri menyamakan langkah dengan Anna yang agak tergesa.

"Enggak. Aku pulang sama ...."

"Ojek?"

Anna menaikkan satu sudut alis.

"Saya liat kemarin kamu naik ojek."

Ketahuan berbohong, Anna santai saja.

"Tahu nggak, Na? Akhir-akhir ini lagi rame tukang ojek cabul. Udah mending uangnya ditabung aja buat modal nikah."

"Modal nikah kamu sama calon istri kamu 'kan?"

"Kalo ternyata buat modal nikah kita gimana?"

Uraian langkah Anna melamban. Lalu ia mendongak menatap si jangkung, Jefri. Ada kekehan kecil yang Jefri suarakan.

"Ngaco kamu, Jef."

Yang kemudian musnah seketika Anna menjawab tegas. Anak itu berlalu mendahului Jefri yang masih terpaku.

"Anna, kamu marah sama saya?"

Tak terdengar jawaban.

"Anna!"

Sudah Anna upayakan dua tungkaknya berayun selebar mungkin, tetapi Jefri begitu cepat menyusul, begitu cepat jemari Jefri menggapai lengan Anna hingga sang pemilik terpaksa berhenti.

"Nggak usah pegang-pegang kalo takut dosa!"

Jefri lepaskan genggaman pada lengan Anna ketika mendengar lantunan tegas itu. Barangkali cukup bagi Jefri untuk memahami sepasang bola mata kelam Anna yang menyimpan kebencian hingga ditanyakannya,

"Saya salah apa, Na?"

Anna bungkam. Ia palingkan tatap dari Jefri sebelum pertahanannya runtuh. Sebab sekarang, ada tumpukan air mata yang berusaha membebaskan diri. Ia tampilkan lagi punggungnya untuk Jefri seraya kembali melangkahkan kaki, tanpa menjawab pertanyaan Jefri.

Ketika sampai di penghujung koridor, Anna tersentak begitu Jefri menariknya menuju arah parkiran, Laki-laki itu menggenggam erat tangan Anna, tanpa rasa takut atau apa.

"Jef ..."

"Pulang sama saya kalau nggak mau dicabuli tukang ojek."

"Emangnya kamu peduli apa soal aku, Jefri?"

Untuk kesekian kali, langkah mereka terhenti.

"Mau aku pulang naik ojek, mau aku dicabuli, emang kamu peduli? Aku sakit aja kamu nggak nengok sama sekali. Kamu sibuk pacaran 'kan sama Ranya?"

Untuk kesekian kali, mereka menyatu dalam satu perseteruan.

"Pacaran?"

"Masih nggak mau ngaku juga? Aku orang ke berapa yang tahu kalo kamu punya pacar sekarang? Padahal waktu aku pacaran sama Kak Kay, kamu orang pertama yang aku kasih tahu. Emangnya aku se-nggak penting itu, ya, Jef di hidup kamu?"

Anna meluap-luap, tetapi Jefri masih nampak begitu tenang. Anna terang-terangan marah, tetapi Jefri bak orang tak bersalah.

"Nggak gitu, Na."

Maka, dilepaskan genggaman tangan Jefri dari tangan, berikut Anna melarikan diri. Segera. Segegas yang ia bisa.

"Anna!"

Panggilan Jefri tak dihiraukannya juga. Anna usap pelupuk yang mulai basah lalu masuk ke dalam mobil Kay dan berlaku seolah tidak ada apa-apa.



Padahal, saat itu juga, ada hati yang hancurnya luar biasa.

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang