83

275 73 3
                                    

"Seneng, nggak, ketemu lagi sama Hemina?"

Kening Anna melukiskan sedikit kerutan. Arah pandang Jefri diikuti. Itu bermuara pada helm di kepala Anna, benda yang laki-laki itu pasangkan barusan.

Pagi ini, berdua ada di depan gerbang rumah Anna. Semalam, mereka sepakat mengagendakan jalan-jalan ke taman hutan raya. Anna kebetulan hari ini kerja shift dua.

"Helm minion Anna?"

Ada tawa yang gaung bersamaan usai Anna menyebutkan. Mereka sama-sama ingat: helm dan sejumlah kenangan kala benda itu dahulu dikenakan. Tempat mana saja yang mereka kunjungi, momen apa saja yang mereka lewati, dan dengan perasaan yang bagaimana.

Memori keduanya masih sangat apik menyimpan.

Sehingga ketika sepeda motor Jefri melaju meninggalkan komplek perumahan dan mulai mengisi sumpek jalanan di akhir pekan lalu laki-laki itu berkata,

"Pegangan, Na!"

"Hah?"

Anna menjadi cukup keheranan.

Bising jalanan sesungguhnya bukan hal yang mampu meredam penuh instruksi Jefri barusan. Anna hanya agak terkejut. Anna hanya ingin Jefri mengulang perkataannya sebab ia tak yakin betul atas apa yang baru saja ia dengar.

"Pegangan. Nanti jatuh."

Sedari tadi, Anna sudah pegangan ujung-ujung jaket Jefri. Setelah instruksi laki-laki itu berbunyi, Anna alihkan kedua tangannya menuju sepasang bahu dan memegangnya ragu-ragu.

Menurutnya, bagian itu yang paling aman untuk dipegang.

Menurutnya, bagian itu yang memang Jefri maksudkan.

Anna selalu ingat, dahulu, Jefri akan sangat marah apabila ia melewati batas.

"Pegangan yang bener atuh, Neng!"

Dahulu, Jefri seperti membuat benteng tinggi di antara mereka berdua, tetapi sekarang hal seperti itu nampak tiada.

Kedua tangan Anna bukan lagi bertengger di sepasang bahu, melainkan melingkar di sebuah pinggang. Jefri yang mengadakan hal semacam ini ketika kendaraan dihentikan di perempatan dan lampu lalu lintas menyala merah sebagaimana dua sisi wajah.

Rona di wajahnya, Anna harap Jefri tidak lihat. Anna harap, Jefri tidak dengar degup jantungnya yang berpacu dua kali lebih hebat.

Tidak ada kesepakatan yang bicara soal sejauh mana mereka akan berbuat. Anna akui dirinya adalah manusia dewasa yang naif, tapi ia harap Jefri tidak begitu.

Meski Anna menyukai dan menginginkan romantisme kecil-kecilan selalu hadir di tengah-tengah hubungan mereka berdua, hati kecilnya masih tetap khawatir.

Anna suka sekali ketika Jefri menggenggam tangannya sepanjang berjalan menyusuri hutan raya. Anna suka sekali ketika Jefri mengusap-usap puncak kepalanya di tengah perbincangan yang memantik canda juga gelak tawa.

Anna suka ketika Jefri memotretnya diam-diam, lalu ketika ia sedikit menampilkan kekesalan, Jefri akan datang dan mencubit pelan pipi kanan.

Katanya, "Kamu enggak pernah enggak cantik, Na."

Anna suka ketika mereka duduk di rumah pohon, ketika pemandangan di depan sana lebih indah dari apa pun, Jefri justru lebih banyak memandang Anna. Meski dilakukan laki-laki itu ketika Anna fokus akan hal lain, tetapi Anna tetap merasa dirinya diperhatikan benar.

Anna merasa sungguhan dikagumi, disayangi, dan dicintai.

Maka dari itu, tiba-tiba muncul rasa bersalah untuk alasan yang ingin Anna rahasiakan.

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang