90

331 69 11
                                    

Sebut saja Anna egois.

Ia tahu bahwa sedari awal, hubungannya dengan Jefri tidak akan bermuara ke mana, tetapi tetap memaksaka.

Ia tahu bahwa Jefri seserius itu, tetapi dirinya malah sebercanda ini.

"Maksud kamu apa, Na?"

Ternampak, tenang sekaligus tegang mendiami raut Jefri kala itu. Mereka masih berdua di dalam mobil yang tak bergerak ke mana pun.

"Rusak gimana?"

Anna terdiam lama. Lisannya tak mampu berkata apa-apa. Maka dari itu, kabar disampaikannya melalui dua bola mata. Jefri ditatap Anna lekat-lekat, pun sebaliknya. Padam berangsur-angsur tersalurkan dari sepasang netra ke netra yang lain.

Jelas saja, Jefri bukan laki-laki bodoh yang tidak mampu mengerti arti ucap, tatap, dan sikap Anna yang begini. Jefri bukan laki-laki bodoh yang tidak mampu menggali jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Lagipun Anna mengangguk, seakan-akan mengonfirmasi bahwa apa yang dipikiran Jefri adalah benar.

"Siapa, Na?"

Pandang dua manusia tak lagi tersalurkan. Anna berujung menyerah, enggan menyaksikan Jefrinya runtuh.

"Siapa yang udah ngerusak kamu? Ngomong sama saya!"

Jemari Jefri tak lagi menggenggam stir mobil, itu berpindah seluruhnya pada dua lengan Anna. Ia paksa perempuan itu menjadi saksi menetesnya bulir-bulir air dari sudut mata. Ia paksa Anna menyaksikan kehancurannya.

"Laki-laki di Australia? Suami baru mamah kamu?"

Anna menggeleng pelan.

"Bang Kay?"

Kali ini, ia kembali diam.

"Huh? Dia, Na?"

Jarak mereka bukan seberapa. Jefri bisa melihat jelas, bibir Anna bergetar. Tidak ada jawaban. Akan tetapi, Jefri berhasil temukan itu di kepalanya sendiri. Memori ketika ia mendapati Anna pulang dini hari dengan seragam SMA-nya yang berantakan dan lehernya dihinggapi beberapa tanda kemerahan.

Maka, kemudian Jefri berhenti bertanya. Jemarinya meninggalkan lengan Anna.

Stir kembali digenggam erat-erat. Mesin dinyalakan, mobil dilajukan, dan Anna dipulangkan.

Ada satu permintaan maaf Anna sebelum ia masuk ke dalam rumahnya, diberi teruntuk Jefri, tetapi diabaikan.

Dan, Anna tak lagi berharap apa-apa. Ia persilakan Jefri membencinya, ia persilakan Jefri meninggalkannya, dan ia persilakan Jefri mencari perempuan yang seribu kali lebih baik darinya.

Anna sudah lama mempersiapkan diri untuk hal-hal ini, ia tak mengapa.

Berkawan dengan sesak di dada dan banyak air mata ketika malam tiba, ia juga tak mengapa.

Dan, Jefri.

Ditemani keremangan kamar tidurnya yang lengang, secangkir kopi, dan sebungkus rokok yang baru ia beli sore tadi, laki-laki itu bergerilya dengan pikirannya.

Merokok. Melamun. Menangis.

Ia tak tahu harus apa.

Hatinya masih sulit menerima realita bahwa perempuan yang bertahun-tahun ia cintai dan yang mati-matian ia jaga mengklaim sendirinya rusak.

Jefri tidak merusak Anna, tetapi pada akhirnya Anna tetap rusak. Jefri tidak mengotori Anna, tetapi pada akhirnya Anna tetap kotor.

Siapa yang bersalah?

Mulanya, Jefri menganggap jika kesalahan tunggal ada pada Kay. Maka, ketika—tanpa direncanakan—bertemu dengan laki-laki itu di gedung olahraga saat bermain basket dengan kawan-kawan SMA, Jefri tanpa membuang waktu lama, tanpa penjelasan apa-apa, segera menghadiahi Kay dengan sejumlah pukulan, makian, dan umpatan.

Kericuhan terjadi. Kay yang masih juga tak paham penyebab Jefri memangsanya pun membalas sehingga Jefri berujung membawa pulang sejumlah lebam.

Lantas, Jefri di sini, di depan sebuah pintu rumah sudah cukup lama tak ia ketuk:

rumah Anna.

Ada perasaan sungkan untuk memulai ketukan pertama. Ada sesal menghambur memeluk Jefri sebab setelah Anna mengabarkan kesalahan fatal yang pernah diperbuatnya dengan Kay, Jefri berlagak bak manusia paling suci di dunia.

Anna dijauhinya.

Anna diasingkannya.

Anna ditinggalkannya.

Dan, pada akhirnya, Jefrilah yang merangkak kemari memikul sejumlah rindu yang hanya Anna-lah tuannya. Sejauh apa pun Jefri berkelana, isi kepalanya hanya tentang Anna. Begitu pula, isi hati yang tak mengijinkan sesiapa menggantikan Anna di dalam sana.

Jefri sungguhan mengetuk. Satu kali. Dua kali.

"Ngapain di situ, Jef?"

Sambutan bukan berasal dari dalam rumah, melainkan dari luar gerbang. Bukan Anna, tetapi—

"Umi!"

Jefri meninggalkan tempatnya berdiri, berjalan menuju Umi di sana.

"Nyariin Anna?"

Mengangguk.

"Anna di rumah 'kan, Mi?"

Tersenyum.

"Loh, memangnya kamu nggak tahu?"

Senyuman Jefri ludes tak tersisa usai Umi memperdengarkan sebuah berita.



"Anna udah balik ke Australia."

[ ]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang