44

440 100 19
                                    

Ini soal kecupan di pipi.

Bukan yang baru-baru ini, tetapi yang dahulu sekali.

Bukan yang Jefri terima dari perempuan manis bernama Ranya Adinda, melaikan yang ia beri pada seorang perempuan paling manja sedunia:

Anna Laila Husna.

Malam itu, Jefri tidak diperkenankan Anna untuk menghubungi. Maka terputus kesempatan untuk bercerita soal resah-resah di hati kepada sang pujaan hati. Jefri hanya harus puas mendekam di balik dinding kamar dan bercengkrama dengan isi pikiran sendiri.

Baik. Mari pertegas lagi. Ini adalah soal kecupan yang Jefri beri pada sebelah pipi Anna, tanpa diketahui sesiapa.

Dahulu ketika mereka duduk di bangku kelas delapan SMP, sedang dalam perjalanan study tour menggunakan bus antar kota, perangai Anna yang luar biasa manja sekaligus jarang bepergian ke mana-mana membuat Jefri harus siaga menjaga.

"Jefri, jagain Anna, ya." Berikut, pesan Tante Bia saat bus hendak berangkat. Jefri hanya mengangguk saja.

Bus berangkat ke kota wisata. Awalnya, Anna begitu riang gembira hingga tiba masa di mana anak itu dilumpuhkan oleh mabuk perjalanan.

"Pak, kantong kresek, Pak. Anna mau muntah." Mungkin ini kalimat yang paling sering Jefri keluarkan selama momen itu.

"Na, liatin deh, Na, pemandangannya bagus banget." Lalu ini, terbanyak kedua, usaha kecil untuk menghibur Anna yang lemah lesu.

Kalau dipikir-pikir sungguh merepotkan harus mengurusi Anna di kala semua murid bersenang-senang dengan banyak wahana permainan, atau ketika mereka semua sibuk ber-swa-foto di berbagai objek wisata, tetapi Jefri tak keberatan.

"Na? Mau foto nggak?"

Sore, mereka hanya duduk di atas bangku kayu sebuah taman terkenal. Anna kelelahan, demikian pula Jefri.

"Enggak, mau. Aku jelek."

Saat itu, kali pertama, Jefri sungguh-sungguh memperhatikan rupa seorang Anna. Sinar mentari memancar dari balik candi, menerpa sepasang bola mata sayu hingga nampak amat cemerlang. Sepoi angin menerbangkan ujung-ujung surai hitam yang tak terlalu panjang tetapi indah.

"Cantik kok."

Kemudian disimpulkannya demikian.

Jefri tidak berbohong. Sedari kecil, Anna memang sudah nampak jelita. Dan kini ketika menginjak remaja, anak itu semakin nampak bersinar saja. Sekalipun, sedang dalam kondisi pucat pasi, kecantikan Anna tidak sekonyong-konyong pergi.

Jefri keluarkan kamera lawas milik Abah yang sengaja ia bawa.

"Sini deketan!"

Seketika, potret dua remaja terabadikan di sana. Jefri amati lekat sepanjang malam, ketika bus dalam perjalanan kembali, sembari tetap menyediakan bahu kanan untuk Anna bersandar.

"Jefri, aku pengen pulang."

"Iya, bentar lagi nyampe rumah, Na."

Jefri usap peluh di wajah Anna, dirapikannya pula surai sebahu milik Anna yang tak tertata.

Hingga malam semakin ditelan bulat-bulat oleh senyap. Penghuni bus tertidur pulas. Hanya Jefri seorang yang terjaga, barangkali. Masih mengamati potret-potret asal dan satu potretnya dengan Anna yang tersenyum di kamera.

"Cantik, deh." Tanpa sadar, Jefri berkomentar pelan.

Digulirkannya tatap menuju Anna yang nyata.

Untuk pertama kali, selama sekian tahun berteman dengan Anna, Jefri rasakan debaran hebat di dadanya. Saat itu, hanya ia adalah remaja yang mudah bertindak gegabah hingga dikecupnya pipi Anna.

Tak disangka, tindakan bodoh itu membawa ledakan-ledakan kuat yang mendongkrak seribu satu rasa. Rumit dijelaskan. Tetapi, sederhananya, ini yang digadang-gadang orang-orang dengan sebutan jatuh cinta.

Jefri tidak menyangkal. Ia menerima karena sependek pengetahuannya, jatuh cinta adalah hal wajar.

Boleh, kata Abah.

Yang tidak boleh adalah menjalin cinta sebelum waktunya.

Jefri sadar, SMP bukan saat yang tepat untuk menyatakan cinta apalagi menjalin cinta.

Bagaimana dengan SMA?

Tetap saja, tidak bisa. Tidak boleh. Kata Tuhan, bukan lagi kata Abah.

Tuhan tidak pernah menciptakan suatu larangan tanpa alasan. Memiliki adalah awal dari merusak.

Menolak semua ajakan Anna dalam menjalin hubungan bukan berarti Jefri tidak mencintai Anna. Jefri hanya tidak ingin merusak Anna dengan berlindung dibalik status kepemilikan bertajuk 'pacaran'.

Selebihnya, Jefri tidak seratus persen yakin Anna juga mencintainya. Meski sering kali kata suka melesat manis dari bibir Anna, Jefri sukar mempercayai itu dahulu, sampai kemudian ia benar-benar tidak percaya diri lagi ketika Anna resmi mengklaim telah berpacaran dengan Kay.

"Jef kirim foto kita berdua yang di konser tadi dong."

"Nih, kirim sendiri."

Malam dalam perjalanan pulang dari konser Tulus, Jefri berikan ponselnya karena sedang sibuk menyetir mobil.

"Dih, aku dinamain Anna doang di kontak kamu? Gak ada embel-embel apa pun gitu? Padahal aku namain kamu Anak Abah Syaiful Rasyid Paling Ganteng. Ih, ganti kek, Jef!"

"Ganti sendiri situ."

Jefri masih tak bertingkah banyak menanggapi celotehan Anna.

"Nah, gini 'kan lucu."

Selesai Anna dengan aktivitas mengirim-ngirim foto beserta mengganti nama kontak. Ponsel kembali Anna serahkan pada Jefri saat mereka telah sampai di depan gerbang rumahnya.

"Makasih, ya, Jef."

Jefri tak membalas ucapan Anna, sebab matanya sedang terpaku pada layar ponsel di tangan.

"Na?"

Anna di ujung sana hampir tenggelam di balik gerbang, sampai akhirnya Jefri memanggil.

"Kenapa Jef?"

Di balik jendela mobil yang terbuka, Jefri lambaikan kembali ponselnya seraya berkata, "Istri boongan yang lagi nyidam?"

"Hahahaha." Anna hanya tertawa tanpa dosa.

"Nggak sekalian istri beneran aja, Na?"

Lantas, Anna terdiam. Tawanya sudah hilang. Alih-alih masuk ke dalam rumah, Anna justru kembali mendatangi Jefri. Berdiri ia di samping pintu mobil, sedikit membungkuk, lalu pipi Jefri dikecup.

Seulas senyum manis menyapa kedua mata Jefri yang membulat. Belum sempat Jefri melayangkan seribu satu serapah, Anna sudah lebih dulu mengurai langkah cepat meninggalkan Jefri yang terbelenggu bisikan merdunya kala berkata,




"Tahun depan nikahin aku ya, Jef!"

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang