31

496 112 13
                                    

"Jefri, Tuan Putri nyariin tuh di depan!"

Sapaan Tuan Putri sudah bukan tabu lagi di telinga Jefri. Seluruh teman sekelas Jefri menyebut Anna demikian, termasuk Alan yang notabenenya adalah siswa pendiam.

Di jam terakhir yang hampir berakhir, Jefri berhadapan dengan Anna dan juga Kay di depan kelasnya. Dan, mungkin sebentar lagi ada yang akan diakhiri.

"Aku udah ketemu Papah Anna kemarin, dan kita udah dapet ijin buat pacaran."

Anna tak bicara apa-apa. Hanya Kay yang sedari tadi mengoceh ria.

Namun, lebih dari separuh atensi Jefri hanya tertuang pada Anna.

"Mulai sekarang, kamu nggak perlu lagi anter jemput Anna, nggak perlu lagi nganter les Anna, nggak perlu lagi ngajarin Anna matematika, fisika, kimia, atau pelajaran yang lain. Semuanya bakal aku handle. Kamu fokus sama diri kamu aja, Jef. Sebentar lagi kamu kelas dua belas 'kan."

Lewat tatapannya, Jefri ingin Anna tahu bahwa kini ia betulan kecewa. Ia tak menginginkan semua yang Kay sebutkan barusan.

"Gimana, Jef? Nggak keberatan 'kan?"

Kay menyeret Jefri beserta fokus laki-laki itu yang berterbangan.

"Silakan. Sama sekali, enggak. Malah justru meringankan."

Sebab Anna sedari tadi hanya menatap ubin sekolah, Jefri ingin ucapannya yang cukup sarkas membuat perempuan itu mengangkat dagu. Berhasil.

Anna balas menatapnya, tetapi kekecewaan Jefri tak serta merta kemudian Anna pahami. Justru, Anna melukis senyum tipis.

"Makasih, ya, Jef. Maaf, selama ini aku banyak ngrepotin kamu."

Anna ulurkan tangan ke hadapan Jefri yang dibius bungkam sekaligus digiring muram.

"Masih mau temenan sama Tuan Putri yang merepotkan ini, 'kan?"

Tidak pernah sama sekali Jefri merasa dibuat repot oleh Anna. Jefri melakukan segalanya separuh sukarela, separuh lagi karena rasa.

Pelan-pelan, Jefri mengangsurkan tangan menjabat Anna.

Senyum manis Anna tidak lagi menular. Mungkin Jefri sudah kebal.

Tautan tangan mereka dipaksa lepas oleh Kay yang tak menghendaki perempuannya disentuh terlalu lama. Kay hadiahkan tepukan pelan di bahu Jefri sebelum membawa Anna pergi.

Jefri ditinggalkan, bukan saat itu saja tapi mungkin dalam waktu yang tidak bisa diukur jangkanya.

Sebab semua peranan Jefri telah digantikan oleh Kay. Maka, itu berarti pula bahwa Anna menihilkan Jefri dari hidupnya.

Padahal, selama ini, Jefri mati-matian berusaha terus berada di samping Anna.

Bahkan ketika sang nenek memintanya untuk tidak lagi berteman dengan Anna karena suatu alasan, Jefri menjadi cucu pembangkang. Juga ketika prestasinya membumbung, berkali-kali dapat tawaran masuk SMP dan SMA favorit dengan beasiswa penuh, Jefri memilih sekolah di tempat biasa, asal masih bisa bersama-sama dengan Anna.

Namun, usaha Jefri diganjar perih di hati.

Anna-lah yang justru berlari, pergi, memilih menghabiskan hari-hari dengan pujaan hati.



Kelas sebelas tuntas, dengan perasaan Jefri yang dipaksa tandas.

Segala tempelan di tembok kamar, dilepas. Tak terkecuali daily activity yang dahulu Jefri buat bersama Anna di perpustakaan sebagai sanksi keterlambatan.

Mungkin benar apa kata Pak Bambang.

Hidupnya tidak harus melulu soal Anna. Toh, saat Anna lambat laun menghilang, hidup Jefri masih tetap berotasi sebagaimana mestinya, tidak juga berhenti. Anna tidak sepenting itu hadirnya, 

sebab kehadiran Jefri pun tidak sepenting itu bagi Anna. 


Kelas sebelas tuntas, dengan harapan Jefri yang sudah pungkas.

Kebersamaan antara Jefri dan Anna ternyata tak bisa dipertahankan tanpa status 'pacaran'.



Anna dan Jefri resmi bubaran, sebab yang mengikat mereka hanya sebatas jalinan pertemanan.

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang