71

399 79 6
                                    

"Di Australia, Anna nggak tinggal bareng Bianca sama papah sambungnya, Bah. Anna bilang nggak nyaman, jadi dia milih sewa flat."

Malam itu, Jefri sedang duduk di ruang tengah, di sofa, berkutat dengan game di ponselnya ketika di teras rumah, Abah dan Umi sedang riuh bercengkerama.

"Jef, lo tidur ya!"

Cerita tentang Anna dicuri dengar Jefri, menyebabkannya kehilangan konsentrasi atas permainan dan berakhir membuat kalah tim. Dua ibu jari Jefri sudah tak lagi mengoperasikan kendali sejak nama Anna disebut dalam perbincangan Abah dan Umi untuk pertama kali.

"Anna di sana kerja katanya buat biaya hidup. Bianca sama Wisnu udah sibuk sama rumah tangga masing-masing. Jangankan buat ngasih uang makan, nanyain kabar aja mereka jarang. Ya, ampun. Anak perempuan di negara orang, tinggal sendirian. Nggak bisa bayangin, deh Umi."

"Anna kan udah gede, Mi. Anak itu pasti udah bisa jaga diri. Buktinya, dia bisa balik ke Indonesia sekarang."

Sudah lama sekali, Jefri memendam rasa penasaran soal ini.

Soal ke mana Anna pergi dan kehidupan seperti apa yang perempuan itu jalani. Semenyenangkan apa atau semenderita apa, Jefri tak pernah tahu kabar beritanya.

"Ya, iya, sih, Bah. Tapi, tetap aja ngeri. Kok bisa, ya, Bianca sama Wisnu bener-bener nggak perduli lagi sama anaknya? Jefri yang cuma ke Jakarta doang aja tiap malem Umi teleponin."

"Ya seperti yang Umi bilang tadi. Mungkin mereka sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing."

Mulanya Jefri pun menyerah mencari tahu. Tentang Anna, Jefri sudah nyaris sama tidak perdulinya dengan orang tua perempuan itu. Akan tetapi, ketika mendengar berita tentang Anna dirapal oleh Umi, apakah Jefri masih tetap enggan perduli?

Keesokan hari.

"Jef, Umi minta tolong ambilin pancake durian pesenan Umi di toko deket pertigaan yang mau ke SMA-mu."

Sambungan telepon diputus usai Jefri mengiyakan permintaan Umi. Mobil diarahkan menuju tempat yang dimaksud. Jefri keluar dari sana, lalu masuk ke dalam toko dan disambut senyum manis seorang pelayan wanita yang mengucap,

"Selamat datang."

Bibir Jefri yang menoreh garis lengkung mendadak kembali ke garis biasa ketika matanya cepat mengenali sang pemilik suara dan juga rupa.

"Anna kerja di toko itu, Jef. Tadi ketemu, nggak?"

Haruskah Jefri sebingung ini ketika menjawab pertanyaan sesederhana itu?

Haruskah butuh pertimbangan matang untuk ia akhirnya jujur berkata, "Ketemu."

"Terus?"

"Ya udah, ketemu, dilayanin, bayar, pulang."

"Nggak ngobrol."

"Enggak."

Jefri benar-benar tidak bohong. Pertemuannya dengan Anna di toko sore tadi hanya berlangsung sedemikian singkat.

"Kenapa? Kalian musuhan?"

Klaim Umi, Jefri balas dengan hembusan napas pelan.

"Lagi kerja dia, Mi. Nggak enak."

Sepotong pancake diambil. Baru selangkah melenggang, Umi tarik lengan Jefri berikut wanita itu letakkan di tangan, kotak berwarna ungu berisikan sajian serupa.

"Kalo nggak musuhan, anterin, ya, ke Anna."

Jefri menautkan alis, keberatan.

"Biasanya 'kan Umi."

"Ini Umi masih harus nyuci piring, Jef."

"Jefri cuma pake kolor doang Mi. Masa iya Jefri nemuin cewek dengan kondisi begini."

"Lah, emang kenapa? Kan cuma Anna."

Iya. Lagian, cuma Anna. Mengapa pula, Jefri harus memperkarakan masalah pakaian. Anna juga belum tentu perduli.

Baiklah. Jefri akan sama tidak perduli dan datang menghadap Anna dengan jersey klub sepak bola Barcelona sepaket dengan celananya yang dibeli sejak jaman SMA tapi ajaibnya masih muat dipakai, meski setengah pahanya terekspos cuma-cuma.

Dengan langkah percaya diri, Jefri keluar dari gerbang rumah.

Satu langkah, dua langkah, tiga langkah.

"Loh, kok balik lagi, Jef?"

Jefri terbirit masuk ke dalam rumah, meletakkan kotak di atas meja ruang tengah, lalu menaiki tangga menuju kamar dan keluar dengan sarung BHS kebanggaan Abah.

Katanya, "Malu, Mi."

Gerbang rumah Anna beserta puluhan kenangan lama dibuka. Kepala Jefri cepat saja menampilkan proyeksi dua remaja yang kerap menjadikan titik itu sebagai mula untuk duduk bersama di atas kendaraan lalu mengarungi sudut-sudut kota.

Ketukan berlabuh di pintu kaya yang sudah lama tak Jefri sentuh. Salam dijawab salam. Dari balik daun pintu, muncul satu perempuan yang jika dipandang sedekat ini membuat Jefri mengakui perkataan beberapa temen dan juga Umi kalau benar

Ia makin cantik.

"Pancake durian dari Umi."

Dan, Jefri masih sangat bisa memegang kendali atas hati. Ia bukan lagi remaja yang mudah terombang-ambing oleh rasa. Jadi, sehabis menunaikan perintah Umi, ia bergegas pamit, tak mau meladeni kehendak hati yang tiba-tiba ingin mengiyakan sebuah tawaran,

"Mau mampir dulu?"

Mulut Jefri berkhianat, "Lain kali aja. Udah malem."

Langkah kembali diarak cepat Jefri menuju pulang.

"Jefri!"

Sampai akhirnya terdengar, suara itu menyeru.

Jefri menoleh. Anna dengan wajah riangnya di ujung sana berkata, "Bilangin makasih, ya, ke Umi."

Hening. Jefri tidak lagi sepercaya diri lalu akan keberhasilan dirinya mengendalikan hati dan akan kemenangannya atas menghempas rasa dari seorang Anna.

"Nggak mau."

Anna jelas terheran dengan jawabnya.

"Bilang sendiri."

Senyum perempuan itu lenyap.

"Umi nggak menerima ucapan terima kasih lewat perantara."

Jefri menggapai pintu gerbang, membuka lalu sungguhan pulang sesaat setelah berpesan:



"Kalau nggak sibuk, mampir ke rumah, Na. Ditunggu Umi."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang