47

434 94 9
                                    

Jefri tahu, Anna sakit semenjak diperintahkannya pulang naik ojek sore itu.

Curiganya Jefri adalah Anna tak segera beranjak dari depan gerbang sampai hujan berdatangan. Sudah Jefri tanyakan kebenarannya lewat kiriman pesan singkat, tetapi tak dijawab. Beberapa pesan yang dikirimkannya kemudian bernasib sama.

Bukan Jefri tidak mau menjenguk Anna.

Ia hanya tidak bisa menolak ketika diamanahi Abah menunggui neneknya di rumah sakit. Abah pergi ke luar kota, mengurus beberapa cabang toko di sana.

Pertemuan dengan Ranya malam lalu adalah upaya sedikit mencuri waktu. Sebab Jefri ingin mengembalikan kaos hitam milik Kakak Ranya dan sejumlah uang transferan yang ternyata kelebihan.

Namun, Ranya hanya menerima kaosnya, tidak dengan uangnya.

"Itu buat satu bulan ke depan, Kak. Ranya mau les lagi sama Kak Jefri."

Ranya bilang dengan lagat tak enak hati.

Keadaan yang sedikit banyak Jefri syukuri.

Banyaknya karena ia kembali punya sumber pemasukan keuangan.

Sedikitnya merasa tak nyaman, bukan saja karena kecanggungan sebab Ranya adalah satu di antara sekian banyak perempuan yang telah dibuatnya patah, tetapi juga karena kabar burung yang berhembus perihal kedekatan mereka lantaran kerap terlihat bersama.

Jefri membonceng Ranya pulang. Jefri mengantar Ranya membeli buku pelajaran. Jefri temani Ranya makan siang.

Tidak disangka, hal itu membuat segelintir orang salah paham, termasuk juga Anna.

Anna mempercayai Jefri dan Ranya berpacaran tanpa memberi kesempatan Jefri untuk mengiyakan.

Hari-hari berjalan dengan kesalahpahaman yang betah bertahan, padahal sesungguhnya Jefri sudah tidak betah lagi. Berbeda dengan Anna yang nampak baik-baik saja mengulur jeda di antara mereka, enggan menyapa, serta membiarkan keasingan sungguh-sungguh terasa.

"SPP untuk dua bulan lalu sudah lunas, ya. Sisanya yang belum dibayar masih ada bulan Maret sama bulan ini."

Suara Bu Galuh terdengar dari balik kaca transparan yang terbuka sedikit untuk Jefri terima kwitansi pembayaran. Tidak banyak Jefri hiraukan sebab kini matanya sibuk menaruh perhatian pada dua perempuan yang berjalan di lorong, hampir mencapai dirinya.

Itu Anna membopong setumpuk buku-buku. Sempat sesaat, pandangan mereka bertemu, tetapi Anna secepatnya berpaling pada Elis. Becengkrama juga tertawa-tawa sehingga Jefri seakan-akan adalah makhluk tak kasat mata yang dilewati begitu saja.

Jefri kembali ke kelasnya bersama hampa di dada, tetapi riuh di kepala.

Jika bertanya-tanya tentang sepenting apa Anna dalam hidup Jefri, silakan lihat sendiri atas bagaimana laki-laki itu menjelma manusia paling murung sedunia manakala menatap layar ponselnya yang nihil interaksi dengan Anna,

"Jefri! Dicariin Anna."

Dan, atas bagaimana laki-laki itu menjelma manusia paling bersuka cita ketika mendengar perkataan Alan di ambang pintu sana.

Sontak, tanpa berlama-lama, Jefri beranjak dari kursi dan bergegas keluar kelas.

Belum sempurna senyuman Jefri terkuak, Anna yang datang bersama secarik kertas warna jingga bersampul plastik bening tebal sekonyong-konyong merenggut binar di mata Jefri.

"Bu Galuh nitipin ini. Tadi ketinggalan di TU."

Kartu bulanan sekolah Jefri, sudah pasti Anna mengamatinya sepanjang berjalan kemari.

"Makasih, Na."

Namun, mengapa, ketika Anna telah tahu Jefri sedang bermasalah dengan pembayaran uang sekolahnya, perempuan itu tak bertanya apa-apa?

Ataukah memang Anna menginginkan agar mereka berhenti saling peduli satu sama lain lagi?

Jika memang begitu, Jefri bisa apa selain memanggul setumpuk rasa kecewa?

Jefri biarkan, Anna berlalu begitu saja. Tak ada niat menahan, atau mencuri kesempatan untuk memperpanjang jumpa yang sudah kadaluarsa dan menghangatkan interaksi yang terlanjur basi.

Di satu malam yang sunyi. Jefri hanya bisa mengadu pada Tuhan. Meminta gusar agar secepatnya pudar, meminta kecewa agar secepatnya tiada, dan meminta yang kacau agar segera dibenahi, serta meminta—

Anna kembali.

Mungkin terkesan memaksakan damba, tetapi segala kecambuk perasaan di dada Jefri saat ini disebabkan karena Anna dan seluruh aliran pemikiran Jefri hanya selalu bermuara pada Anna semata-mata.

Nenek sudah kembali dibawa pulang. Kesehatannya berangsur pulih. Roda perekonomian keluarga pun sudah kembali berputar ke arah normal.

Hanya tinggal Anna, permasalahan yang belum Jefri tuntaskan.

Berkali-kali Jefri berniat menelpon Anna, tetapi pada akhirnya tak direalisasikan juga.

Sampai Tuhan memulangkan semua doa-doa.

Tepat pukul delapan malam, aliran listrik komplek padam.

Pukul delapan lebih dua menit, ponsel Jefri berdering. Kontak 'Istri Boongan yang Lagi Nyidam' memanggil.

Di antara temaram ruangan, Jefri terima panggilan itu dan mengawalinya dengan salam.

"Assalamu'alaikum."

"Jefri. Waalaikumsalam." Rasa-rasanya sudah lama tidak mendengar Anna memanggil.

"Kenapa, Na?"

"Listrik di rumah mati. Mamah sama Papah belum pulang."

"Nyalain lilin, Na."

"Enggak tahu lilinnya ditaruh di mana."

"Udah dicari?"

"Udah, tapi nggak ketemu."

"Bentar ya, Na."

Jefri diamkan panggilan dengan Anna karena dirinya tengah sibuk menyalakan lilin di berbagai sudut rumah. Niatnya sejenak saja, tetapi keheningan berlangsung cukup lama.

"Jefri." Sampai suara Anna kembali terdengar, memangkas serabut rindu milik Jefri yang memanjang terhadap perempuan itu.

"Hm."

"Takut."

"Mau saya temenin?"

Hening.

Sepi.

Senyap.



"Mau."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang