92

338 69 3
                                    

Jefri

Apa sesungguhnya tolok ukur bahagia, ketika mendapati orang tua sebegitu harmonisnya, rumah sebegitu hangatnya, harta-benda sebegitu melimpahnya, dan wanita ... jangan ditanya, manusia yang satu ini masih tetap merasa kosong?

Saya kosong.

Saya yang dengan sadar membuangnya, tetapi saya juga yang merasa kehilangan.

Saat itu, saya hancur, sayangnya saya lupa berpikir bahwa perempuan itu mungkin jauh lebih hancur.

Kemudian, setiap harinya, selain sibuk mondar-mandir memeriksa pasien, saya juga sibuk memeriksa diri sendiri: menanyakan apakah keputusan yang saya ambil adalah benar?

Menjauhi, meninggalkan, dan bahkan mengasingkan Anna sebab kecewa setelah mengetahui masa lalunya. Manusia sok suci ini merasa tak berdosa sama sekali, mulanya. Akan tetapi, hari ke hari, ia semakin sadar lalu mengutuk diri sendiri.

Iya. Laki-laki ini memang bodoh. Butuh disadarkan dengan beberapa pukulan. Dan untungnya, Bang Kay menghadiahkan itu pada saya lengkap dengan pembelaannya.

"Gue nggak akan berbuat sejauh itu kalo lo nggak ngenalin Anna ke gue!"

Itu seperti patok yang menancap kuat di kepala, memanggil sejuta penyesalan memenuhi dada saya hingga sesak. Setelah keributan dengan Bang Kay kala itu, saya tak lagi berpikir bahwa ia adalah satu-satunya pemegang kesalahan. Setelahnya, saya mulai berbincang mengenai seandainya.

Seandainya saya bisa lebih memperhatikan Anna.

Seandainya saya bisa lebih menjaga Anna.

Seandainya saya tidak naif; terus terang, mengakui bahwa saya menyukainya sejak lama.

Mungkin, jalannya tidak begini.

"Anna udah balik ke Australia."

Mungkin, Anna tidak akan pergi sejauh itu, sendirian. Dan, saya tidak harus berkawan dengan ketidaktenangan. Anna hanyalah korban. Om Wisnu, Tante Bia, Bang Kay, lalu saya. Ketiganya mungkin bisa seenaknya lari dari tanggungjawab, tetapi—jika boleh sedikit percaya diri—saya tidak begitu.

Oleh karena itu, saya kemari.

"Jefri?"

Saya berdiri di depan pintu sebuah flat, dalam keadaan kekuyupan ditimpa hujan, berhadapan dengan perempuan yang saya cari-cari. Ia sedikit terkejut, banyak cemasnya. Penasaran, tapi tak bertanya apa-apa.

Saya segera dipersilakannya masuk lalu duduk.

"Sebentar, aku ambilin anduk."

Selembar handuk kecil saya terima, tetapi entah mengapa saya mendadak lupa cara memakainya. Benda itu bertahan dalam genggaman saya yang sibuk memperhatikannya di ujung sana.

"Adanya cuma teh anget, nggak apa-apa, ya."

Saya mengangguk. "Makasih, Na."

Datang ke sini, saya tidak berharap muluk. Apa itu perjamuan, jika selama tiga bulan belakangan ini yang saya berikan padanya hanya keangkuhan. Bahkan secangkir teh hangat dan secarik handuk saja seharusnya tidak berhak saya terima.

"Aku keluar sebentar beli obat flu. Kamu di sini dulu."

"Kamu flu?"

"Kamu."

Saya tidak berhak menerima perhatiannya sebanyak ini.

"Di luar hujan. Saya enggak ngeliat apotek deket sini. Jadi, enggak usah. Saya enggak apa-apa."

Anna adalah perempuan keras kepala, saya tahu. Upaya penahanan lewat kata tidak begitu mujarab. Ia tetap lenyap ditelan daun pintu. Dan, saya mesti beranjak, bertindak sedikit kurang ajar dengan menggenggam lengannya, terang-terangan menatapnya.

"Masuk, Na. Saya mau bicara."

Kami duduk berdampingan di atas karpet, memeluk lutut masing-masing, dengan jarak yang tidak terlalu dekat tidak pula terlalu jauh. Cukup untuk menjalin pembicaraan di kala suara hujan di luar sana terdengar kencang.

"Kamu baik-baik aja di sini?"

Anna hanya sebatas mengulas senyum. "Baik, kok."

Kemudian hening.

"Kamu gimana? Baik juga, 'kan?"

Saya tidak ingin menyamainya, tidak ingin kembali menjadi manusia naif lalu kemudian menyesal. Saya ingin mengakui dengan jelas bahwa,

"Enggak. Saya kacau."

Saya yakin sekali, Anna bukan tidak melihat lebam di wajah saya. Luka kemarin, buah dari pertikaian yang saya mulai dengan Bang Kay, masih sangat jelas.

"Nggak ada kamu di samping saya, saya berantakan, Na."

Apa itu harga diri, saya sudah membuangnya sejak memutuskan datang kemari. Tidak peduli semenyedihkan apa saya di matanya sekarang. Saya hanya ingin ia mengerti bahwa saya sungguh membutuhkannya.

"Saya nggak bisa konsentrasi saat kerja. Saya nggak bisa berhenti mikirin kamu. Saya nggak bisa nahan diri buat enggak mukul Bang Kay. Saya nggak bisa sama perempuan lain di saat hati saya masih terus-terusan nyari-nyari kamu."

Apabila sampai di sini, ia masih tak kunjung mengerti, maka biar saya katakan dengan sejelas-jelasnya.



"Pulang, ya, Na."

[ ]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang