93

357 68 9
                                    

Anna

Kamu tahu apa yang lebih menyebalkan dari menunggu redanya hujan hingga berjam-jam tanpa tahu kapan bisa kembali memulai perjalanan?

Iyap, memendam rasa penasaran tanpa tahu kapan bisa menemukan jawaban. Dua hal itu punya pengaruh yang sama; menyebabkan seseorang kebingungan.

Siapa yang tidak bingung jika orang yang lama hilang dari hidupmu tanpa kabar tiba-tiba menelponmu, tahu-tahu sudah berdiri di depan pintu rumahmu, tubuhnya basah kuyup, wajahnya lebam-lebam?

Tahu apa yang lebih menyebalkan lagi? Iya, kamu tidak bisa banyak bertanya, kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak berhak, sebab sadar betul di antara kalian berdua juga sudah tidak ada apa-apa.

Maka dari itu, aku hanya memberinya sebuah keperdulian yang menurutku wajar sebagai sesama manusia, ditambah lagi kita pernah saling mengenal, bahkan, saling mencintai. Memberinya handuk, secangkir teh hangat, dan seharusnya obat flu, tetapi menurutnya mungkin itu tidak perlu jadi aku urungkan niatku pergi ke apotek.

Katanya, ia ingin bicara. Lalu, kami duduk kembali duduk berdua.

Katanya, tanpaku, ia tak baik-baik saja. Lalu, aku kebingungan menjawab apa.

Katanya,

"Pulang, ya, Na."

Lalu, aku tertawa kecil, memandangnya jenaka, "Pulang ke mana, Jef? Ini aku udah pulang, kok. Kamu pikir, sekarang lagi ada di rumah siapa? Rumahku."

Aku yakin, ia tak sungguh-sungguh butuh aku, ia hanya butuh dihibur.

"Pulang ke Indonesia."

Aku terkekeh lagi. "Aku nggak punya rumah di Indonesia. Rumah aku udah dijual."

Jika ia pulang ke rumahnya, tentu ia melihat sepanduk besar di depan gerbang rumahku. Di sana tertulis jelas rumah ini dijual, hubungi Wisnu Wardhana +628109xxx. Yap, papah menjualnya, tanpa memberitahuku. Aku tahu-tahu didatangi istri barunya, diminta berkemas dan pindah ke rumah mereka, tapi manusia keras kepala ini menolak.

"Pulang ke rumah saya."

Masih kutanggpi bicaranya dengan reaksi yang sama. "Memangnya saya siapa sampai boleh pulang ke rumah kamu?"

Sebuah pertanyaan retoris, tidak membutuhkan jawaban.

"Kamu orang yang saya kenal, orang yang saya cintai, calon istri saya."

Tapi, manusia jenius ini banyak sekali dalihnya. Sampai-sampai saya kemudian hanya bisa terbungkam. Butuh waktu lama untuk menekan sebuah rasa di dada dan juga angan di kepala. Memangnya, siapa yang tidak mau menjadi istri laki-laki seperti ini? Kalau kamu perempuan, kamu juga pasti mau 'kan?

"Jutaan perempuan di dunia, kenapa harus perempuan rusak ini yang kamu pilih jadi calon istri kamu?"

Orang bilang, sebagai manusia, kita harus tahu diri. Kemauan harus dibarengi dengan kemampuan. Dan, agaknya, perempuan sepertiku ini tidak mampu menyandinginya.

"Karena saya cuma mau kamu."

Alasan tersebut begitu klasik, tapi di telingaku, itu terdengar begitu sakral hingga relung hatiku bergetar. Berlebihan, tapi ini kenyataan. Dan, aku menatapnya dengan dua bola mata yang berangsur padam.

"Saya mau kamu jadi istri saya, Na."

Di antara kami berdua, teronggok kotak merah berisi logam mulia. Ia sodorkan itu, lagi, untuk yang kedua kali setelah yang waktu itu.

"Tapi aku ...."

Bibirku bergetar. Perihal ini, bicaraku tak pernah bisa lantang.

"Aku rusak. Kamu ... kamu enggak apa-apa?"

Kami beradu pandang. Ia diam cukup lama. "Nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, Na. Nggak ada manusia yang benar-benar suci tanpa dosa. Dan, saya juga manusia," katanya, lembut sekali.

Lalu, tak kutemukan keraguan dalam dirinya ketika mengucapkan, "Saya enggak apa-apa, dan saya harap kamu juga enggak menolak saya."

Yang kutemukan selanjutnya hanyalah aku dengan pecah tangisku. Di kepala sedang berbutar, hari-hari sulit yang banyak kulalui. Benar, aku tak juga baik-baik saja tanpa laki-laki ini. Tangan dan kakiku kerap mengeluh letih, seisi dadaku mengaku perih. Namun, aku berlaku seperti ibu tiri, tak pernah perduli.

Keputusanku kini mutlak. Aku mengangguk di depannya. Kukabarkan padanya, inginku yang paling kuingin.



"Aku mau pulang."

[ ]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang