55

396 93 4
                                    

Setiap malam minggu, kegiatan Jefri selalu hanya itu-itu: kalau tidak membantu Abah merestok persediaan toko atau hitung-menghitung penghasilan, Jefri hanya akan berakhir berkutat dengan buku-buku berisi soal dan kiat-kiat sukses menjelang UTBK.

Rutinitas seperti ini telah berjalan hampir setahun belakangan. Tepatnya setelah seseorang yang dulunya kerap merengek minta ditemani jalan-jalan di malam minggu karena kebosanan kini tak lagi begitu.

Tentu saja. Anna sudah punya pacar.

Semestinya, Jefri segera sadar untuk sungguh-sungguh menihilkan isi hati dari rasa pada Anna semenjak saat itu, sehingga ketika mendapatkan teguran secara kasar seperti tempo hari dari Kay, ia tak akan merasa sekosong ini.

Sepekan berjalan usai kenangan menyedihkan di pinggir jalan.

Anna sudah minta maaf terkait ucapan Kay, Jefri pun sudah memaafkan. Komunikasi mereka cukup sampai di sana.

Anna sepenuhnya Jefri abaikan, baik pesan maupun sapa kala berpapasan. Sebuah upaya untuk sungguh-sungguh menekan perasaan menjadi tiada. Sekalipun sulit, ia telah bertekad bulat.

"Jef, itu Anna sama Mamah Papahnya dateng, sapa dulu gih!"

Namun sial, semesta bersuka ria menghidangkan hambatan, lalu tertawa-tawa saat menyaksikan Jefri saja masih berdebar hanya karena mendengar satu nama.

Jefri patuh ketika Umi berinstruksi. Keluar ia dari toko sembako yang terletak bersebelahan dengan rumah setelah menepuk pundak Bang Munajat, anak buah Abah yang memang biasa berjaga di sana.

"Kopi, Bang?"

"Boleh, Fri."

Di dunia ini mungkin hanya Bang Munajat yang memanggil Jefri dengan penggalan begitu. Terdengar tabu tapi lucu sehingga Jefri tertawa kecil. Tawa yang sontak saja lenyap segegas matanya menangkap dari kejauhan seorang dengan tampilan tak biasa.

"Ini siapa?"

"Anna, Nek."

"Oh, Anna. Udah lama enggak liat. Nah, gini ya pake jilbab jadi tambah cantik."

Ruang tengah dipenuhi oleh cengkrama hangat orang-orang di dalamnya. Sedang Jefri termangu di ambang pintu dengan ruang hati dipenuhi rindu yang lantas meluruh begitu melihat wajah jelita berhias senyum serta pipi merona milik Anna.

"Eh, Jefri!"

Mendengar namanya disebut, Jefri bergegas masuk. "Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam." Terdengar balas atas salamnya barusan dari semua, termasuk juga Anna.

Jefri sambangi Tante Bianca dan Om Wisnu, tanpa segan mencium tangan mereka.

"Sehat Om, Tante?"

Tante Bia tersenyum.

"Sehat juga, kan, Jef?" Om Wisnu menepuk lengan Jefri, bertanya.

"Alhamdulillah, Om. Agak stress, dikit."

Jawaban Jefri membuat tawa orang-orang menggema.

"Liburan atuh, Jef. Jangan belajar melulu, udah pinter ini."

Jefri hanya terkekeh. "Siap, Tante."

Lambat laun, kekehannya memudar seiring tiba ia di hadapan Anna yang duduk sebelah dengan Umi. Senyuman Anna kembali nampak. Semakin nyata cantik terbingkai mata Jefri.

Tak ada sepatah kata terucap. Jefri berhasil menahan lisan, tetapi tidak dengan tangannya yang ia biarkan mengusap pelan ujung kepala Anna.

Sebatas itu saja sudah membuat kekosongan dada Jefri sepekan ini kembali terisi. Maka, dicukupkannya keberadaan di tengah-tengah mereka, di depan Anna lalu pergi ke dapur rumah.

"Mau ke mana Jef?"

"Bang Mun minta kopi, Mi," terangnya menjawab pertanyaan Umi.

Jefri tak keluar dari pintu utama yang tadi ia masuki, melainkan dari pintu belakang rumah. Sengaja, agar tidak melihat lagi Anna atau ia akan kembali goyah.

Namun, untuk ke sekian kali, semesta mempermainkannya. Semesta hadirkan Anna di toko ketika Jefri tiba. Perempuan itu duduk dan mengintip game yang Bang Mun alias Munajat mainkan di ponsel, kadang ikut memekik heboh.

"Kopinya, Bang!"

"Taruh dulu ada di meja, Fri."

Sepintas, Jefri bersipandang. Bukan. Bukan dengan Bang Mun, tetapi dengan Anna. Segegas mungkin Jefri mengalihkan perhatian pada buku-buku tebal dan panjang berisi sekumpulan nominal yang harus memang lebih butuh perhatiannya sekarang, ketimbang perempuan itu.

"Woi yang bener dong mainnya, Bangsat." Terdengar umpat dari lisan Bang Mun.

"Iya nih, temen-temen Abang pada bangsat, ih." Anna menimpali.

"Heh, omongannya dijaga, Na!"

Kini, Jefri menginterupsi. Kontan saja, Anna mengunci bibir. Ia menoleh ke belakang, melihat Jefri yang sedang menyibukkan diri dengan kegiatan pembukuan.

"Anjir dikatain bangsat, dong. Eh kok suaranya cewek? Siapa tuh Mun?"

Di seberang sana, dari ponsel Bang Mun terdengar suara laki-laki, teman satu tim permainan sekaligus satu perkampungan Bang Mun.

"Hei, cewek! Kenalan dong. Namanya siapa?"

"Hei Abang. Nama aku Siti."

Setengah fokus Jefri terbagi usai mendengar Anna bersuara di ujung sana. Diam-diam ia tergelak, sebiasa mungkin berusaha tidak membunyikan tawa.

"Eh, Siti. Kenalin aku Satria. Siti udah ada pacar belum nih?"

"Kebetulan, lagi jomblo, nih."

Jefri sempat berhenti mengetik angka pada kalkulator.

"Eh Siti kok suaranya lembut gitu sih. Pasti orangnya cantik."

"Cantik, woe, cantik banget. Anaknya sebelah gue ini."

"Pap sabi kali, Mun."

"Oke. Gaya, Na, di situ! Satu, dua, tiga!"

"Anjay, kayak model baju lebaran euy."

"Suka nih yang imut-imut gini."

"Mun, di toko, kan?"

"Iye, kenapa?"

"Otw."

"Otw kemana, Sat?"

"Otw ke situ. Mau liat bidadari surga."

"Gue ikut, Sat. Pengen liat jodoh, juga."

"Anjir, giliran yang bening-bening aja lu pada gercep."

Utuh, perhatian Jefri teralihkan. Buku ditutup. Kalkulator disingkirkan. Bangku ditinggalkan.

Jefri melangkah pelan keluar dari toko lalu membentangkan sebuah payung yang ia ambil dari pojokan. Di luar gerimis.

"Ke mana, Fri?"

"Beli nasi goreng di pengkolan."

"Satu, ya. Yang biasa."

"Siap."

Hening beberapa sekon setelah perbincangan Jefri dengan Bang Munajat.

"Anna mau juga?"

Sampai akhirnya tatapan beserta pertanyaan, dicurahkan Jefri pada Anna yang sedari tadi diam. Anak itu nampak berpikir, cukup lama.

"Mau. Yang ...."

Belum sempat Anna beri keterangan, Jefri lebih dulu memutar badan lalu turun menemui aspal jalan.


"Ayo, ikut aja!" serunya dari luar. 

Sepasang mata yang tadinya redup, lekas berbinar.

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang