86

313 65 3
                                    

Hari wisuda tiba.

Jefri lengkap dengan busana formal dan juga toga menenteng map berisi ijazah, menyalami setiap orang yang hadir di hari spesialnya untuk memberi selamat, suka sedia ketika tak jarang mereka-mereka meminta foto bersama. Tentu setelah puas berfoto dengan abah dan uminya.

Di sela-sela keripuhan-tapi-menyenangkan itu, Jefri terima sebuah panggilan dari Anna.

Ponsel dideketkan pada telinga, genggaman terhadap benda itu mengerat dalam beberapa saat usai terjalin pembicaraan yang pada akhirnya membawa Jefri berlarian.

"Anna!"

Di sana, di ujung keramaian, Jefri menemukan.

Ia yang katanya tidak bisa datang. Ia yang Jefri kira lebih mementingkan pekerjaan di atas segala-galanya. Ia yang hadirnya memicu keterkejutan dan juga kebahagiaan di waktu bersamaan.

Jefri tersenyum lebar, mendekat pada perempuan jelita yang hari ini cantiknya tidak bisa dibicarakan lewat kata.

Ada set kebaya yang Jefri pernah diam-diam belikan, ada sepatu heels terpasang di sepasang kaki jenjang, ada rambut yang tak dibiarkan terurai tanpa hiasan dan catokan, ada pula sebuket bunga di pelukan.

Semuanya, Anna persembahkan semata hanya untuk Jefri saja.

"Selamat, Jef."

Ucapan Anna singkat saja. Diserahkannya buket bunga, diterimanya pelukan tiba-tiba.

Sebagaimana Jefri yang kaget atas kehadirannya, Anna juga kaget didekap di muka umum. Buket bunga bahkan belum Jefri terima. Kini, itu menjadi sasaran Anna ketika merasa malu, digenggam erat ketika pelukan Jefri mengerat.

Namun, ini bukan saatnya mengurusi perasaan Anna.

Jefri adalah tokoh utama. Percikan kebahagiaan Jefri sampai juga pada Anna sehingga pada akhirnya, dua tangan perempuan itu balas mendekap Jefri, meski tak erat.

"Wuidih, siapa nih?"

Jefri membawa Anna ke tengah-tengah kawanannya, di depan gedung fakultasnya. Dengan bangga, Jefri perkenalkan Anna pada mereka yang memasang pandang penasaran sebagai,

"Calon istri."

Kemudian terdengar sorak. Satu dua dari mereka memberi geplakan di lengan Jefri.

"Abis ijazah, langsung ijab sah, ya, bro!"

"Emang modelan bidadari gini harus buru-buru dinikahin, Jef. Takut ada yang nikung."

"Itu gue yang mau nikung, hahaha."

Anna hanya mengulum senyum tipis ketika bersipandang dengan Jefri. Tidak tahu harus menimpali obrolan itu dengan apa. Sudah dikata, Anna bukan lagi sosok yang suka bicara, tidak secerewet dan seasyik saat masih SMA.

Untung saja, Jefri segera membawa Anna ke spot foto. Sekitar lima pose yang tak romantis tapi manis berhasil dibidik dan diabadikan.

Anna suka foto di mana dirinya dan Jefri menatap utuh lensa kamera, tersenyum manis tanpa kontak fisik apa-apa. Sementara, Jefri suka foto saat ia tanpa permisi memasangkan topi toga di kepala Anna. Dan, pada akhirnya, foto itu juga adalah favorit Anna.

"Anna datang sendirian?"

Kepalang senang, Jefri lupa mencaritahu hal sekrusial pertanyaan Abah sekarang.

Kini, mereka sedang menikmati makan siang di waktu sore, di sebuah restoran keluarga.

"Iya, sendirian, Bah."

"Naik apa?"

Jefri lupa menanyakan bagaimana perempuan ini datang kemari.

"Naik kereta."

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang