65

445 83 12
                                    

Menemukan beberapa koper berjajar di depan pintu rumah sepulang acara pelepasan, Anna tak bertanya apa-apa.

Hanya segera bergegas masuk ke dalam kamar tanpa menyapa mereka yang berada di satu ruang bersama tapi tak saling bicara.

Telah Anna ketahui jauh-jauh hari, rencana Mamanya untuk pergi. Dan, selama ini, rupanya sang Mama hanya menahan diri sampai hari kelulusan Anna tiba. Petang itu juga, wanita berkebangsaan asli Eropa tersebut sungguh-sungguh meninggalkan rumah, suami, dan putrinya.

Tiada protes dari Anna yang memilih mengurung diri sesore suntuk di kamar dan menangis diam-diam.

Suara Papah pun tak terdengar. Anna yakin Papah sama lelahnya mencegah Mamah pergi. Papah telah menyerah untuk mempertahankan keutuhan keluarga sebab keinginan Mamah mutlak. Surat gugatan cerai sudah diajukan ke pengadilan.

Lantas, Anna bisa apa selain memendam kecewa?

Lagi pula, Anna juga sudah muak mendengar Mamah dan Papahnya berseteru tiap waktu. Mungkin dengan cara Mamah pergi, rumah ini bisa terasa nyaman kembali seperti dahulu.

Tak Anna hiraukan suara Mamah berpamitan dari balik pintu kamar. Papah yang menyeru turun untuk setidaknya memberi salam perpisahan pada Mamah pun bernasib sama.

Konon, Mamah bilang hendak pulang ke rumah nenek di Australia. Dan, bisa Anna tebak, sebentar lagi kabar pernikahan Mamah dengan kekasih barunya yang merupakan orang sana akan terdengar.

Sedari awal, hubungan kedua orang tua Anna tidak direstui oleh keluarga Mamah. Sebab untuk melangkah ke jenjang pernikahan, Mamah diharuskan pindah dari agama yang dianut keluarganya dan beralih memeluk agama yang sama dengan Papah.

Lalu, atas semua yang terjadi, siapa yang patut disalahkan?

Atas Anna yang hancur, siapa yang harus bertanggungjawab?

Mereka yang memutuskan, tetapi mengapa Anna harus ikut jadi korban? Mereka yang membuat permasalahan, mengapa Anna harus ikut menanggung penderitaan?

Anna tak pernah minta dilahirkan, apalagi jika itu hanya untuk dihancurkan banyak orang seperti sekarang.

Rumah ini sudah sunyi, tetapi masih tak nyaman sama sekali. Tidak ada lagi bising pertengkaran. Kebisingan pindah ke dalam kepala Anna yang sibuk mengutuk semua orang.

Rasa-rasanya, semua orang memuakkan. Semua orang seolah-olah menghilang, berlarian seakan enggan bertanggungjawab padahal ada seonggok hati yang mereka lukai.

Anna merasa sendirian. Seperti tidak memiliki barangkali satu tempat untuk menumpahkan pelik yang ia hadapi.

Papah memilih keluar mencari udara segar, barangkali merasa sesak di rumah ini. Mamah mengabari pesawatnya akan segera lepas landas. Anna balas dengan pesan hati-hati serta mencoba menguatkan hati.

Kay dihubungi.

"Gimana hasil tes-nya?"

Namun, hanya persoalan itu yang Kay tanyakan.

"Negatif."

"Syukur, deh."

Anna diam.

Diam-diam terisak.

"Serius negatif? Kok malah nangis? Maaf, ya, Na. Aku belum bisa temuin kamu. Aku masih di luar kota. Jarang-jarang bisa liburan bareng Mamah sama Papah."

Berupaya betul menabahkan diri dan mencoba memahami, Anna usap tangisnya sendiri.

"Iya, nggak apa-apa. Have fun, ya."

Panggilan diputus. Yang tersisa kini hanyalah keheningan. Menemani Anna yang duduk memeluk sepasang lutut di atas bangku. Deretan foto-foto di tembok kamar didominasi oleh momen kebersamaan Anna dengan Jefri.

Iya, sedari dulu, tempat berkeluh paling nyaman bagi Anna adalah Jefri.

Lantas, saat ini, haruskah Anna mengusik Jefri yang kini mungkin sedang asyik berdansa dengan Ranya? Sebaiknya, tidak.

Maka, Anna putuskan untuk hanya mengatup lisan sembari hati mengadu pada Tuhan yang Maha Tahu, tanpa diberitahu.

Iya, Anna masih punya Tuhan. Dan, harapannya adalah satu, semoga Tuhan sudi mendengar keluhan seorang pendosa hebat macam Anna.

Namun, benar, Tuhan memang sebaik itu, padahal hamba-Nya sedurhaka ini.

Seteguk ketenangan hadir, berikut satu panggilan dari seseorang.

Ponsel di meja bergetar.

Anak Abah Syaiful Rasyid Paling Ganteng menelpon.

Bergegas Anna menetralkan suara seraknya untuk kemudian menjawab salam dari seberang sebiasa yang ia bisa.

"Kenapa, Jef?"

"Di mana, Na?"

"Di rumah."

"Enggak dateng ke prompt?"

"Enggak."

Senyap melingkupi. Tiada pertanyaan yang mempersoalkan alasan ketidak-hadiran Anna malam ini. Yang ada hanya instruksi yang sekonyong-konyong diberi tanpa banyak basa-basi.

"Siap-siap sekarang, ya. Saya jemput. Kamu jadi pasangan saya malam ini."

Memang terkesan semena-mena, tetapi di saat yang sama juga membuat Anna bahagia. Namun, belum sepenuhnya meyakinkan jika Anna tidak bertanya perihal ....

"Ranya gimana?"

... pasangan Jefri sesungguhnya.



"Ranya katanya nggak enak badan. Jadi, nggak bisa dateng."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang