73

355 77 12
                                    

"Memangnya kalo saya sakit, kenapa?"

Anna mengernyit, lalu menunduk.

Uluran payung di tangannya belum bersambut. Ia tatap benda itu sembari mencari-cari jawab sekaligus menghindar dari sorot dua bola mata yang sedang menunggu dijawab.

"Nanti aku ngerasa bersalah."

Anna bergumam lirih.

"Lagian kamu calon dokter. Harusnya paham betul mencegah lebih baik daripada mengobati 'kan?"

Kali ini cukup keras, cukup mampu bersaing dengan suara hujan deras. Jefri tak lagi menyimpan penasaran di balik sorotnya. Tatapan laki-laki itu terlalu abu-abu untuk dipahami Anna yang tak pandai menangkap makna.

Jefri tak sedang bangga, padahal Anna baru saja menyanjungnya yang sebentar lagi akan mengemban profesi impian banyak orang. Bercak-bercak kecewa menghias, tetapi Anna tak paham hulunya:

mengapa pula Jefri harus kecewa?

Hening yang membentang cukup lama, Anna ingin segera usaikan sehingga ia raih tangan Jefri. Ia paksa laki-laki itu menerima payungnya. Dan, Anna tidak pernah tahu bahwa seorang Jefrian Masadie Rasyid juga bisa menjadi keras kepala begini.

Payung biru tua diletakkan Jefri di dekat kursi kayu tanpa sempat dibentangkan.

"Jef!"

Anna panggil sosok yang hendak berlalu.

"Jefri!"

Anna panggil lagi lebih lantang ia yang sudah resmi berlalu tetapi punggungnya masih nampak oleh mata.

Jefri tidak peduli hujan. Anna pun tak akan perduli jika yang hujan basahi sekarang ini bukanlah Jefri. Payung disambar, dibentangkan, lalu difungsikan. Berlarian mengejar, tubuh Jefri, Anna bantu naung dan teduhkan.

Tak sampai lima langkah diayun sejajar. Kini, Jefri membuat kaki mereka sama-sama berhenti, satu sama lain saling menghadap, saling menatap.

"Mending kamu balik aja, Na," sarannya,

"Hah?"

yang gagal Anna mengerti.

"Kamu masuk aja! Saya jalan sendiri."

"Tapi, hujannya deres, Jef! Nanti kamu sakit."

"Nggak apa-apa."

"Jef! Jangan ngaco udah ayo buruan jalan."

"Saya pengen sakit, Na."

Anna kebingungan. "Biar apa?"

"Biar kamu ngerasa bersalah."

Jalan pikiran Jefri makin sukar dipahami. Anna tidak tahu harus merespon apa.

"Biar kamu seenggaknya mikiran saya meskipun nggak sebanyak saya mikirin kamu."

Suara Jefri berpacu padu dengan suara jutaan mili air langit yang jatuh ke bumi. Sedang suara Anna hanya menggema dalam hati. Segala sangkal diorasikannya lantang dalam diam.

"Sedikit aja, Na. Pernah nggak kamu mikirin saya?"

Bukan hanya pernah, tapi hampir setiap waktu.

Bukan hanya sedikit, tapi semelimpah itu.

Mulanya Anna mengira bahwa ia telah benar-benar berhenti seusai memilih pergi. Mulanya Anna mengira ia telah sungguhan mengistirahatkan isi kepala dan juga hati dari seorang Jefri.

Tapi, asal Jefri tahu bahwa ternyata tidak. Benda-benda yang Anna temui selalu banyak bicara, seakan-akan mereka dilahirkan dengan peran menebar tunas ingatan tentang Jefri yang tak Anna harapkan untuk cepat tumbuh.

"Pernah, Na?"

Asal Jefri tahu saja bahwa sesungguhnya Anna pun ingin menanggalkan jari-jari agar tiada satu dari mereka yang berani menasbihkan nama laki-laki ini lagi. Namun, mereka tetap menetap sebagai bagian dari tubuh Anna, ruas-ruasnya menjadi tempat bersemayam keinginan untuk menggapai dan memeluk laki-laki ini.

"Asal kamu tahu, Na. Sampai hari ini, saya masih nungguin kamu ngejelasin semuanya. Kenapa kamu tiba-tiba pergi, kenapa nggak pernah hubungin saya padahal kamu udah janji, dan kenapa kamu tiba-tiba datang lagi ke sini?"

Namun, yang berani menyuarakan isi hati dengan percaya diri sekarang hanya Jefri, sedang Anna semakin menciut.

"Kamu nggak ada yang mau diomongin sama saya?"

Genggaman pada gagang payung dieratkan. Anna menunduk dalam, menatap kakinya dan kaki Jefri yang gemetaran ditusuk hawa dingin.

"Terus buat apa kamu muncul di depan saya lagi kalau nggak ada niat meluruskan semuanya? Tiba-tiba pergi, tiba-tiba datang, tanpa alasan? Mau kamu sebenarnya apa, Na? Kamu tahu perasaan saya, tapi berkelakuan seolah-olah kamu nggak tahu apa-apa. Saya yakin kamu juga tahu kalau saya nungguin kabar dari kamu, tapi pernah nggak kamu nungguin kabar dari saya? Kamu asyik sama dunia kamu sendiri, kamu bisa welcome sana-sini, kamu punya banyak kegiatan menarik, tapi pernah nggak sekali aja kamu mikirin apa saya baik-baik di sini?"

Dipersilakan waktu dan tempat untuk Anna bergumul dengan isi kepala, memintal kata, tetapi sayangnya benang-benang sedang sangat kusut sehingga bibir perempuan itu tetap terkatup rapat.


"Nggak pernah, ya, Na?"

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang