35

514 106 7
                                    

Rapat selesai. Anak-anak OSIS bubar.

Ponsel dipojokan dicabut dari pengisi baterai. Jefri masukkan ke dalam kantung jaket sebelum pergi.

Sekolah telah benar-benar sepi. Wajar, petang sudah semakin menjadi-jadi.

Jefri tahu, nol kemungkinan Anna masih ada di kelasnya, tetapi ia tetap saja menyempatkan diri menengok ke dalam sana. Dan, memang benar tiada.

Langsung saja Jefri bergegas pulang. Menunaikan mahgriban, dilanjut baca Al-Quran sembari menunggu isya datang.

Pintu dibuka. Umi muncul di baliknya.

"Jef, Tante Bia tadi nanya kamu pulang bareng Anna, enggak. Soalnya Anna belum sampe rumah sekarang."

"Hah, belum sampe rumah?"

Jefri tertegun. Buru-buru ia beranjak mengambil ponsel di nakas dan menyalakannya. Agak lama.

"Kamu nggak pulang sama Anna?"

"Enggak, Mi. Jefri pikir Anna udah pulang duluan."

Setengah panik, Jefri mendapati Tante Bia dan Om Wisnu menelpon beberapa kali. Pesan-pesan yang menumpuk lantas diteliti Jefri hingga ia menemukan milik Anna.

Sepersekon berselang, Jefri terburu-buru melepas sarung. Jaket disambar. Ia keluar rumah hanya dengan celana pendek selutut setelah menyempatkan pamit pada Umi, Abi, dan neneknya yang tentu saja menegur.

"Ganti celana panjang, Jef!"

Abai.

Motor terburu-buru dipacu Jefri menuju sekolah yang kala itu sudah rapat tertutup. Jefri melobi Pak Satpam sampai akhirnya gerbang dibukakan.

Anna tidak menggemari buku.

Anna ngantukkan.

Perpustakaan dan Anna sama sekali bukan kombinasi yang pas.

Kekhawatiran Jefri adalah Anna ketiduran lalu terkunci di sana. Dan, valid.

Dari dalam terdengar suara isak tangis.

"Anna!!"

Hening.

"JEFRI!!!"

Suara Anna menggema. Jefri sedikit lega.

"Jefri tolongin! Aku takut. Di sini gelap banget kayak masa depan. Aku nggak bisa liat apa-apa. Burem."

Namun, resah masih sangat menggunung di dada Jefri.

"Buruan, Pak, buka pintunya!"

Pak Asep masih kebingungan memilih kunci yang jumlahnya ratusan. Jefri berperan menyenteri dengan hp-nya.

"Tunggu ya, Na. Nggak usah panik."

Jefri berkata demikian, tetapi ia sendiri yang panik.

Bagaimana tidak. Jefri tahu betul, Anna takut gelap. Dan, benar saja. Jefri temukan Anna dalam keadaan mengenaskan dirundung ketakutan di pojokan rak buku.

Keringat dingin bercampur air mata menjajaki wajahnya. Bibir yang bergetar di sana masih meloloskan isak tangis yang malah semakin keras ketika Jefri mendekat.

"Jefri! Takut."

Tangis Anna diusap-usap Jefri. Rambut yang berantakan berusaha Jefri rapikan.

"Udah nggak apa-apa. Nggak usah takut. Ada saya."

"Enggak. Kamu tadi ninggalin aku. Kamu pulang duluan."

Setengah mulut Jefri terbuka. Rautnya bertabur rasa berdosa setelah mendengar rengekkan Anna.

"Maafin saya, Na."

Jefri tak mencoba menjelaskan tentangnya yang sama sekali tiada bermaksud meninggalkan Anna. Dan, Anna juga tidak menjelaskan kondisi ponselnya yang mati total. Benda itu sudah ada di tangan Jefri saat ini. Tadi ia temukan tergeletak di sebelah Anna.

"Jahat banget kamu."

Jefri biarkan kepalan tangan Anna berlandas di bahunya berkali-kali. Jefri biarkan Anna berlaku sesuka hati. Semua mau Anna sebisa mungkin Jefri turuti.

Anna mau digendong, katanya. Jefri sanggupi menggendong Anna dari gedung perpustakaan hingga ke depan gerbang. Meski taruhannya adalah kedua kaki, dan sepasang jantung yang berdentum kencang tiada henti.

Anna lapar. Anna mau kebab. Jefri bawa ke tempatnya. Jefri pesankan menu paling spesial di antara yang spesial. Anna makan sambil menarik-narik ingus. Pipi perempuan itu masih senantiasi Jefri elus-elus. 

"Kenapa nggak pulang duluan sama Bang Kay, Na?"

"Enggak. Maunya sama kamu."

Meski itu sama saja mengokohkan kembali rasa yang sempat tergerus.

Anna kedinginan saat duduk di atas boncengan motor. Jefri sudah berikan jaketnya.

"Jef, dingin."

Namun, ternyata itu saja tidak cukup menghangatkan Anna. Maka, tanpa berpikir lama tentang resiko, Jefri bawa lengan Anna melingkari pinggangnya seraya lembut berkata,


"Peluk aja, nggak apa-apa."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang