60

478 86 32
                                    

Pukul dua puluh tiga, hujan deras menghujam-hujam kota.

Pukul dua puluh tiga, percaya saja ada seonggok raga yang sedang terdiam di tengah kamar gulita bertemankan resah yang bertumpuk-tumbuk memenuhi dada.

Terbayang-bayang di mata, wajah perempuan yang akhir-akhir ini samar kehadirannya. Mengaung-ngaung di telinga, suara lembut perempuan yang mulai redam lantaran jarang mengajaknya bicara. Hilir mudik di kepala, kenang-kenang kebersamaan mereka yang sekarang tiada.

Pukul dua puluh tiga—ah sekarang sudah lebih tujuh menit;

ada rindu sekelumit, dan lebih dari pada itu adalah rasa-rasa rumit.

Sebelas lewat sebelas, ada hati yang terus mengupayakan ikhlas jika memang perempuan pujaan punya orang lain yang lebih pantas dan jika memang pada akhirnya perasaan cinta berujung tanpa balas.

Sialnya, di waktu yang sama, masih sebelas lewat sebelas, justru rindunya eksplisit menembus batas; melebihi kapasitas dan melambung tinggi ke atas kemudian lenyap tak berbekas.

Sungguh, hatinya butuh istirahat, tapi cintanya tak mau diistirahatkan. Barang sedetikpun tidak berkeinginan melepas; barang sejengkalpun tak berkehendak mengulur jarak.

Sebelas lewat dua puluh delapan, bertepatan dengan listrik komplek yang padam, jarak dipintal-pintal bersama harap untuk bertemu seorang perempuan spesial.

Meskipun saat itu hujan masih meradang, Jefri tetap bertandang.

Ke sebuah minimarket, ia beli macam-macam. Lilin, barangkali seseorang membutuhkan. Cokelat, susu kotak, yogurt, dan berbungkus-bungkus makanan ringan kesukaan seseorang. Satu hal lagi, yang wajib dibeli usai menengok deretan angka di kalender, sekotak pembalut, mengingat beberapa hari lagi tiba periode datang bulan seseorang.

Berikut, Jefri rangkum semua itu ke dalam satu kantung plastik dan ia hantarkan menuju rumah Anna.

Iya. Anna selalu menjadi seseorang yang ingin Jefri perhatikan.

Jefri harapkan temu dengannya setelah sekian lama tak bertamu. Berharap mereka akan bisa duduk berdua di sofa panjang sembari bercengkrama seperti yang terjadi beberapa bulan silam.

Namun, harapan Jefri melahirkan kekecewaan. Sebab yang Jefri temui bukan Anna melainkan kesunyian. Yang duduk berdua bersama Jefri di sofa panjang hanya kekosongan. Dan, yang bercengkrama dengan Jefri semalaman hanya isi pikiran.

Sebagaimana Anna, Tante Bia dan Om Wisnu pun tiada.

Ketiganya telah Jefri coba hubungi tetapi nihil informasi. Panggilan tak dijawab sama sekali.

Entah apa yang terjadi; entah apa yang Jefri lewatkan tentang keluarga ini.

Di mana Anna, di mana mereka semua?

Atas seribu satu kecambuk tanya, Jefri tak temukan titik terangnya sehingga ia putuskan untuk pulang saja. Ia putuskan untuk tidak ikut campur jika memang tidak diperkenankan. Toh, kembali lagi, Anna sudah dewasa, seharusnya Jefri percaya Anna bisa menentukan sendiri jalan hidupnya mau seperti apa.

Baru saja, Jefri menyalakan mesin motor sehabis mengunci gerbang rumah Anna, laki-laki itu dikejutkan dengan kemunculan Anna yang berjalan terseok-seok lalu bergegas, berusaha membuka kembali pintu gerbang tanpa menghiraukan keberadaan Jefri padahal mereka sempat bersipandang.

"Anna!"

Buru-buru Jefri tinggalkan motornya saat menyadari Anna sedikit tidak beres. Tidak pernah Jefri temukan tatapan semuram itu sebelumnya mendekam di balik bola mata Anna. Tak pernah Jefri temukan tampilan Anna yang seberantakan ini sebelumnya.

Jefri bantu membuka kunci gerbang lantaran Anna nampak sangat kesulitan. Tangannya gemetaran.

"Kamu dari mana, Na? Kok jalan kaki pulangnya? Jam empat subuh, loh, Na," tutur Jefri pelan. Ia yakin Anna dengar tetapi tak ada jawaban.

Tak ada ucapan terimakasih. Anna melenggang begitu saja.

Kembali, Anna kesulitan menghadapi pintu rumah yang terkunci. Kembali, Jefri hampiri lalu ia ambil alih kunci dari tangan Anna yang dingin.

"Kamu kenapa, Na?"

Wajah yang teringin Jefri amati itu tersembunyi di balik juntaian rambut panjang. Hal yang ingin Jefri ketahui tersembunyi karena Anna memilih bungkam, menunduk dalam-dalam.

Tak lantas Jefri buka pintu rumah. Ia raih kedua lengan Anna lalu ia putar agar mereka saling menghadap. Surai Anna ditata Jefri pelan-pelan dengan jemari. Dagu Anna diangkatnya sehingga nampak nyata jejak-jejak air mata yang tersisa, dan juga ketakutan luar biasa.

Jika seperti ini, Anna bukan hanya nampak sedikit tidak beres.

"Kenapa nangis, hm?"

Sudah sering kali Jefri lihat tangis Anna, tetapi yang paling membuat Jefri sesak setengah mati adalah yang sekarang ini. Ketika Anna hanya diam saja padahal Jefri setengah mati penasaran dan ingin mendengarnya bercerita; ketika Anna membiarkan tampilan kacaunya menjadi hal tunggal yang berbicara.

"Ini kenapa, Na?"

Jemari Jefri berlari menuju leher Anna.

Masih, tiada Anna bersuara. Tangan Jefri ditepisnya, lalu sekonyong-konyong ia masuk ke dalam rumah, mengunci diri, meninggalkan Jefri sendirian dengan aneka macam terkaan dan asumsi.



Antara, sekumpulan jejak merah yang membekas di sekujur leher Anna adalah gigitan serangga ataukah ulah manusia.

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang