29

454 107 7
                                    

Dari atas balkon sebuah vila, taburan bintang disapa penglihatan dua insan. Masing-masing memasang senyuman, kadang dilemparkan pada satu sama lain.

"Suka nggak tempatnya?"

Kay bertanya pada gadis jelita yang bergegas mengangguk.

"Keluarga Kakak keren banget, deh, bisa punya vila sebagus ini."

Tawa hambar Kay menyambut ucapan Anna. "Nggak segitunya, sih, Na."

Satu detik berselang, Anna disambut rasa bersalah. Ia bukan yang tidak tahu apa-apa tentang Kay.

Ayah pilot, ibu pramugari. Kerap terbang ke sana kemari, meninggalkan Kay berhari-hari di rumahnya seorang diri. Pulang paling tidak dua-tiga bulan sekali.

Dapat disimpulkan, Kay dan kesepian sudah bertahun-tahun menjadi dua sejoli.

Sempat Anna merasa dirinya tak jauh berbeda dengan Kay. Memiliki orang tua yang gila kerja jelas ada kesengsaraan tersendiri. Ayah seorang polisi dan ibu seorang pesohor acara talkshow televisi.

Namun, Anna cukup bersyukur, setidaknya masih bisa merasakan sarapan, makan malam, dan hangatnya bercengkrama bersama keluarga setiap harinya.

Sering berbagi keluh, membuat Anna dan Kay telah saling tahu sampai akhirnya hubungan pacaran mengikat mereka berdua. Yang membuat Anna merasa cocok dengan Kay adalah pemikiran mereka sejalan,

tentang hidup yang semestinya dihabiskan untuk bersenang-senang.

Berbanding terbalik ketika berbagi cerita dengan Jefri, maka Anna hanya akan mendapatkan omelan karena selalu mengeluh ini dan itu. Menurut Anna, Jefri bukan orang yang tepat untuk curhat. Jefri hanya selalu menghadiahi Anna dengan ceramah.

Katanya, hidup memang tempatnya bersusah-susah.

"Anna."

"Iya, Kak?"

Kay pandangi jam tangan silver pemberian Anna yang telah melingkar di lengan. "Jam-nya bagus. Makasih, ya."

Senyuman kembali terpatri di wajah Anna namun surut begitu saja ketika Kay berpindah berdiri di belakangnya. Tubuh Anna kontan menegang, sedetik usai didekap Kay. Tanpa permisi, Kay menjadikan bahu Anna sebagai tempat menumpu dagu.

"Aku boleh minta satu hadiah lagi, nggak, Na?"

"Apa, Kak?"

Setengah gugup Anna menanti kembali Kay bicara.

Dagu diangkat. Kay membisikan sepatah pinta.

"Boleh aku cium kamu?"

Saat itu, Anna hanya bisa menggenggam erat tralis pinggiran balkon. Hembusan napas Kay menari di permukaan kulit lehernya, menimbulkan desiran juga debaran yang sama hebat.

Setengah menoleh, ekor mata perempuan itu berlari cemas memandang Kay.

Kay coba tenangkan dengan sebuah genggaman di tangan kanan Anna.

Tak ada anggukan sebagai bentuk persetujuan. Kay anggap Anna yang memejamkan mata sedang menantinya untuk memulai.

Anna sendiri tidak tahu pasti, antara dirinya sungguh-sungguh menginginkan Kay atau hanya terbawa suasana malam itu.

Ia tak pernah berpagut bibir dengan siapa-siapa. Ini sensasi baru dalam hidupnya yang dahulu pernah ingin Anna coba dengan Jefri.

Namun, ternyata tak sebaik dugaan ketika dirasakan dengan Kay.

Di kepala Anna, hanya wajah Jefri yang terproyeksi. Di telinga Anna, hanya suara Jefri yang menggema-gema.

"ANNA!!!"

Sampai suatu masa di mana Anna merasakan panggilan yang nyata.

Pejaman mata lantas terbuka. Di bawah balkon, di halaman vila, Anna temukan sosok Jefri yang juga nyata.

Jefri di sana bernaung dari gerimis hanya dengan sepasang tangan.

"JEFRI!"

Anna berseru. Kay disingkirkannya.

"Jefri, kamu ngapain?"

Cukup kaget akan kehadiran Jefri yang di luar dugaan. Tadi, Anna berpesan agar Jefri menjemputnya di kafe tempat laki-laki itu mengantar.

"Jemput kamu."

Jam sembilan malam. Jefri sudah mematok sekian. Anna terkesiap ketika menengok jam tangan Kay. Sekarang jam sepuluh.

"Turun, Na!!!"

Tiba-tiba Anna merasa bersalah.

Tiba-tiba Anna merasa ingin berlari pada Jefri.

Ia terburu-buru masuk ke dalam vila, mengambil tas selempangnya dan hendak berlalu secepat yang ia bisa.

Pintu dibuka. Anna temukan Jefri menyorotnya nyalang.

"Ayo pulang!"

Anna patuh lengan kirinyanya digenggam kuat Jefri. Namun, ketika hendak masuk ke dalam mobil, Anna tersentak tiba-tiba seseorang menahan lengannya yang lain.

"Kamu pulang sama Kakak. Aku anter kamu sampe rumah."

Kay mengambil alih Anna dari samping Jefri.

Sekarang, pilihan ada pada Anna. Dua pria yang saling memandang dingin sedang sama-sama menanti ia bersuara.

Lima detik hanya diisi oleh desau angin malam. Sampai Anna pada akhirnya menuntaskan kebimbangan.





"Aku sama Jefri aja."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang