64

435 79 24
                                    

Di balik tembok-tembok sunyi ruang semi redup, Anna terduduk.

Di atas bangku kayu, di batas peralihan waktu, Anna temangu-sedu.

Deret angka pada seonggok kalender yang sedang ditatap lekat kini menginformasikan bahwa benar, ini sudah lewat seminggu dari tanggal seharusnya ia menstruasi.

Sebungkus testpack dalam genggaman menghadirkan setumpuk resah ke dalam dada tak sudah-sudah.

Belum. Anna belum mencobanya sebab terlalu takut menerima realita jikalau di dalam rahimnya sungguh-sungguh bersemayam satu nyawa; jikalau nanti kedua orang tuanya berakhir kecewa bahkan murka; dan jikalau—

—Kay meninggalkannya.

Petang tadi, setelah Anna memberitahu Kay secara langsung terkait suatu kondisi, Kay segera mengantarkan Anna menuju apotek cukup jauh dari komplek. Katanya, agar tak ada orang yang mengenali mereka. Berikut, Kay sodorkan pada Anna lembaran uang pecahan seratus ribuan, alih-alih memberikan kesediaan untuk menemani Anna masuk ke dalam sana.

Terang saja, Anna memendam kecewa. Terlalu lelah menguatarakan apa yang dirasa.

Menemani Anna membeli sebungkus testpack saja, Kay enggan. Apalagi menemani Anna untuk selamanya berjuang.

Anna meragu.

Pertanggungjawaban Kay mulai nampak abu-abu.

Atensi beralih. Anna temui sekotak pembalut di sudut laci dan kalut di sudut hati. Benda tersebut mengingatkannya pada sang pemberi, mengingatkannya pula pada percakapan dengan Ranya sore tadi:

tentang Jefri.

Anna enggan menanyakan kebenaran tentang perasaan Jefri padanya, sebab percuma. Tetap, tidak akan ada perubahan status di antara mereka. Jika memang benar Jefri menyukainya, Anna masih sangat waras untuk tidak menghambur pada laki-laki itu kendati punya perasaan yang sama.

Mendampingi Jefri, Anna rasa tak pantas.

Menurut Anna, Jefri bisa mendapatkan yang lebih daripada dirinya. Akan Anna kerahkan seutuh jiwa untuk rela. Akan Anna lapangkan hatinya untuk menerima.

Ponsel menyala. Layar menampilkan pesan yang Anna kirim pada Jefri tadi. Sebuah permintaan maaf karena ia sudah lebih dulu pulang dengan Kay. Sudah dibaca, tapi tak dibalas.

Lebih tepatnya belum.

Sebab beberapa saat berselang, terdengar getar singkat sekaligus pemberitahuan. Balasan dari Jefri datang.

Iya, nggak apa-apa. Syukur, kalo udah pulang.

Begitu katanya.

Benak Anna sempat bertanya-tanya, apakah Jefri kecewa?

Entahlah. Semoga saja, tidak. Anna yakin, kecewa tidak pernah menjadi mimpi semua orang.

Kalaupun iya, Anna juga bersyukur. Mungkin dengan cara membuat Jefri kecewa, laki-laki itu bisa memudarkan rasa atasnya—jikalau benar ada.

Ponsel diletakkan. Sebagai ganti, Anna genggam erat-erat bungkusan testpack yang kemudian ia bawa serta menuju kamar mandi di kala rumah dijamin sepi. Mamah dan Papahnya kemungkinan besar sudah terlelap.

Situasi bagus.

Sepuluh menit di dalam kamar mandi. Anna keluar menggenggam hasil.

Terburu-buru ia kembali ke kamarnya, bersama air mata dan juga—

—lega.

Tes terbaca negatif.

Semakin meyakinkan bahwa ia tidak sedang hamil, malam itu periodenya datang juga. Anna kembali ke kamar mandi kali dengan menggenggam sebungkus pembalut dan tenang di raut.

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang