81

332 77 14
                                    

Pernah berpikir untuk menyerah, Jefri tak menyangka bahwa pada akhirnya hari ini datang juga.

Hari di mana Anna mengangguk setuju atas ajakan berpacaran. Nyata, penatian lama Jefri bukan hal yang sia-sia. Perasaan yang sedari dulu tidak pernah bisa disingkirkan dengan benar akhirnya sungguhan bertuan.

Seperti mimpi, Jefri masih setengah percaya bahwa sosok yang tersenyum manis di seberang sana sekarang adalah perempuannya.

Anna masih berdiri di depan gerbang rumahnya manakala Jefri tengah memasukkan mobil ke dalam garasi rumah sendiri. Jefri pun mengulur satu menitnya hanya untuk memastikan Anna masuk ke dalam rumah. Tak lupa, Jefri kirimkan sebuah pesan suara,

"Cuci kaki, cuci muka, kalau mau mandi pakai air anget, ya. Terus istirahat dan jangan lupa baca doa sebelum tidur biar mimpinya indah."

Bukan hanya sebatas mengingatkan, Jefri juga melakukan hal yang sama. Merebahkan badan sehabis mandi, lalu mengecek pesan suaranya yang berbalas.

Anna

Selamat istirahat, Jef.
Makasih banyak buat hari ini.

Sama-sama, Sayang [delete]
Kembali kasih, Na.

Kasih telah sampai dan diterima.

Haha, seneng dengernya.

[read]

Besok kerja?

Kerja dong.
Nggak kerja sama dengan enggak makan.

Berangkat jam berapa?

Pagi jam 6.

Oke, nanti saya siap-siap sebelum jam 6.

Buat?

Nganter pacar ke tempat kerja.

Obrolan di ruang maya berhenti sampai di sana. Tidak ada lagi balasan atas pesan terakhir Jefri. Mungkin, Anna sudah tidur. Tidak seperti Jefri yang terjaga hingga pukul dua karena saking bahagianya.

Kepala sibuk memproyeksikan wajah cantik Anna, mengingat caranya tersenyum, caranya bicara, caranya tertawa, dan caranya malu-malu mengakui bahwa selama ini, sebagaimana Jefri, Anna pun tidak pernah bisa melenyapkan isi hati dari Jefri.

Yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika mendengar Anna sama sekali tidak bersedih ketika menerima undangan pernikahan Kai, tetapi bersedih karena menemukan ia dan Jefri selayaknya dua manusia asing.

Jefri tadi sempat meminta maaf perihal itu, tetapi Anna berkata itu adalah salahnya. Anna mengakui keegoisannya, pergi ke Australia tanpa pamit pada Jefri, sudah begitu tak pernah mengabari pula.

Anna tak bicara soal alasan, Jefri pun sempat tak bertanya. Umi keburu menelpon dan menyuruhnya pulang karena malam sudah sangat larut. Lagipula, Anna terlihat berat dan sedih ketika bicara, meski ada senyum di bibirnya.

Kembali, Jefri menyadari bahwa Anna banyak berubah. Anna yang ceria dan suka bicara sekenanya sudah tidak ada. Anna tidak lagi secerewet dulu. Anna juga tidak secengeng dan sepenakut dulu. Anna yang sekarang banyak menahan dan memendam.

Begitu, kata naluri Jefri yang sok tahu.

Entahlah. Jefri hanya merasa seperti memacari perempuan yang baru dikenalnya seminggu lalu.

Pukul lima, sebagaimana yang diucapkan, Jefri bersiap untuk mengantar Anna ke tempat kerja. Sebelum enam serempat, Jefri memanaskan mobil. Umi yang terheran hanya cukup diberinya senyuman.

Pukul enam dua puluh, rumah Anna disambangi. Perempuan itu sudah siap dengan baju kerjanya, tetapi belum dengan dandanannya.

"Tunggu bentar, ya, Jef."

Anna sempat panik, Jefri hanya tersenyum kecil. Wajah itu masih tetap cantik meski tanpa dandanan sekalipun. Mengapa, Anna seperti begitu malu?

"Kita sarapan dulu, ya."

"Sarapan?"

"Ada bubur ayam enak di depan SMA kita dulu."

Bagi Anna, kata sarapan terdengar tabu. Ia tidak biasa melakukannya apalagi di jam yang terbilang masih sangat pagi ini. Anna biasanya menyantap makanan paling awal pukul sembilan, itu pun makan roti yang cacat dicetak.

Duduk mereka berdua di atas kursi kayu. Ada suatu masa di mana mata mereka tertuju pada gerbang sekolah di ujung sana.

"Pengen balik SMA lagi, nggak, Na?"

"Enggak."

"Kenapa?"

"Soalnya aku bego banget jaman SMA."

Jefri tertawa. Ditepuknya puncak kepala Anna, disingkirkannya noda di sudut bibir Anna. "Jangan ngomong gitu, ah."

"Kalau kamu, pengen balik SMA lagi, Jef?"

"Pengen."

"Kenapa?"

"Pengen ngomong suka ke kamu sebelum kamu jadian sama Bang Kay."

Genggaman Anna pada ujung sendok kian mengerat. Senyum menoreh di bibir Jefri, tetapi tidak pada bibir perempuan itu. Sama seperti ketika Anna menyodorkan uangnya untuk bayar dua porsi bubur, lalu Jefri berkata,

"Udah simpen aja uangnya buat modal nikah."

"Nikahan siapa?"

"Kita."

Anna terdiam lama, tak tahu harus menanggapi Jefri dengan apa. Sama seperti ketika Anna telah keluar dari mobil Jefri, hendak masuk ke dalam toko kue tempatnya bekerja. Jefri melongok dari jendela mobil, memanggil,

"Na!"

"Ya?"

Yang dipanggil menoleh.

"Kalau capek kerja bilang, ya."

Dahi Anna berkerut. "Kenapa harus bilang?"


"Biar saya nafkahin."

[]

PAPER GLASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang