Gemuruh suara ombak yang saya temukan di jam satu malam selalu sama iramanya, menenangkan.
Saya tidak tahu mengapa saya begitu obsesi dengan laut, padahal ia hanya berisi sebuah kegelapan yang dalam. Saya suka kegelapan tersebut, saya mencintainya begitu dalam. Saya ingin tenggelam, saya ingin menggapai dasar bumi.
Saya merasa sepi yang ramai, sementara lawan dari sepi adalah ramai.
Waktu itu hujan deras, saya tidak bisa menuju puncak bukit jika sedang hujan karena mata saya tidak kuat menahan tusukan dari sang hujan. Puncak bukit yang biasa saya tempati menjadi basah dan licin, bukan sekali dua kali sudah begini, tetapi saya tetap berandai bagaimana jika saya jatuh mati karena hujan? Tidak boleh begitu, itu jahat sekali.
Saya menggelengkan kepala, mengembangkan senyum untuk menyapa laut yang sedang sangat sibuk dengan ombak yang besar. Saya tersenyum untuk memulai sebuah keluh untuk hari ini, seolah laut bisa menyembuhkan, saya selalu melakukan hal tersebut setiap hari.
"Hari ini, saya lelah hidup. Hari ini saya bertanya kepada diri sendiri, sebenarnya apa tujuan hidup saya? Mendapat uang yang banyak lalu membeli apa pun yang diinginkan? Lalu jika sudah memilikinya, apa saya akan merasa puas dan dapat membeli sebuah takdir yang jauh lebih baik dari yang saat ini?" tanya saya, tertawa kecil mengusap air mata. "Saya juga kembali memikirkan arti Tuhan yang memberi hidup dengan imbalan kematian."
Saya menghembuskan napas, kemudian tertawa. "Saya kesepian tahu, setelah banyaknya cerita yang saya katakan pada kamu, apa kamu tidak bisa mengatakan sesuatu selain mengembuskan angin begitu?"
Kemudian setelah itu, saya bisa mendengar ada suara hela napas selain dari saya. Saya tidak gila, saya juga tahu perbedaan hembusan angin dan napas, jadi, saya menolehkan pandangan menemukan kamu yang sedang bergetar hebat dengan bibir yang pucat pasi.
Saya tertawa dalam hati seolah senang melihat keadaan susah seseorang, kemudian saya yang juga tidak baik-baik saja mengatakan ini padamu, "Jangan bunuh diri di laut, kamu bisa melakukan cara yang lain selain membuat laut tersebut tampak tak indah lagi karena tercampur oleh sebuah kematian."
"Saya tidak lagi ingin hidup, ingin bunuh diri juga tidak boleh. Lalu apa yang harus saya lakukan?"
Saya bertemu dengan kedua netramu yang memandang sayu. "Omong-omong saya tidak melarangnya, saya hanya melarang kamu untuk mati di laut, nanti saya tidak akan bisa untuk mengadu kepadanya karena teringat akan dirimu yang mati di sana."
"Lalu bisakah kamu membunuh saya?"
"Bisakah setelah itu kamu juga membunuh saya? Karena jika begitu rasanya tidak adil sekali, hidup saya sudah sulit, dosa saya juga sudah melilit, kemudian kamu malah ingin saya melakukan dosa yang sangat besar."
Kamu menghela napas. Terlihat seperti lelah kemudian memilih untuk menekuk lutut dan duduk disamping badanku. Saya tidak tahu jelas apa yang terjadi padamu kala itu, meskipun tanganmu dibalut sweater panjang yang menutupi, saya bisa melihat tanganmu penuh dengan luka sayatan yang belum mengering sepenuhnya. "Kamu penuh luka, syukurlah kalau begitu, kita sama."
Saya bisa melihat tiga kerutan di dahi yang kamu lahirkan saat saya mengatakan luka tersebut seperti sebuah hal yang bisa disyukuri. Saya kemudian tersenyum, memandang luka-luka di sekujur tangan kemudian menunjuknya sembari berkata, "Ingin menceritakan satu per satu kisah dari masing-masing luka?"
"Memangnya ada yang menarik tentang itu?"
"Entahlah, saya tidak pernah melakukannya karena saya tidak pernah menjumpai seseorang dengan luka seperti kita begini," sahutku. Mengulum senyuman kemudian menunjuk beberapa titik luka. "Saya sudah jarang menciptakan luka beberapa tahun terakhir, tetapi semua yang hinggap di atas kulit saya ini saya ciptakan saat Ayah berkata kepada saya bahwa 'Hidup yang indah akan tercipta setelah timbul banyak luka'. Saya jelas tertarik menciptakan luka yang banyak untuk mendapati sebuah hidup yang indah. Saya tidak mengatakannya kepada Ayah bahwa saya sudah mendapat banyak luka untuk mendapati hidup yang indah tersebut sampai beliau meninggalkan saya untuk selamanya karena tertabrak diperjalanan pulang untuk membawakan saya sebuah hadiah yang saya nantikan. Benar, itu adalah hari lahir saya."
Kamu memandang sulit. Sementara saya bisa melihat ada sebuah sisa air mata di ujung pelupuk matamu, kemudian saya tertawa saja. "Saya takut akan mendapat hidup yang bahagia, jadi saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk tidak pernah bahagia selamanya."
"Selesai. Sekarang ceritakan tentang lukamu," kata saya. Memandangi kamu siap mendengar.
"Cerita saya tidak ada apa-apanya denganmu, kurasa? Saya memiliki seorang adik yang menjadi tanggung jawab saya karena kedua orang tua saya sudah mati bunuh diri tepat di hadapan kami berdua. Mereka meninggalkan sebuah surat yang kurang lebih isinya mengatakan bahwa mereka tidak sanggup lagi untuk hidup apalagi menghidupi kami, jadi mereka bunuh diri begitu saja," katanya. Ia kemudian tertawa getir, memandang laut sayu. "Itu adalah hal terbodoh yang pernah saya temukan sepanjang hidup. Mereka kesulitan dalam hidup, mengapa malah melahirkan kami yang menjadi korban? Saya membenci isi surat mereka. Namun, sialnya, kini saya merasa hal yang sama. Saya dipenuhi keraguan, saya dipenuhi pertanyaan. Seperti ... saya tidak sanggup menghidupi diri sendiri, apa saya bisa menghidupi adik saya juga? Umurnya masih muda, masa depannya seharusnya cerah, saya tidak ingin ia tumbuh menjadi seseorang yang bodoh seperti saya, tetapi saya sudah cukup lelah dan putus asa untuk hidup ini."
Saya tidak bisa menyahut apa pun tentang hidup kamu yang sama beratnya dengan saya, atau malah lebih berat dari sudut pandang kamu. Jadi saya menghela napas, menepuk pundak kamu yang terasa dingin. "Kamu tahu, saya pikir menjadi dewasa adalah hal terbaik di dunia ini. Saya pikir saat saya dewasa nanti, kehidupan akan berubah, saya akan menjadi lebih keren dan Tuhan akan lebih baik kepada saya. Nyatanya di umur saya yang hari ini menginjak tujuh belas tahun yang kata banyak orang adalah umur di mana menjadi seorang yang dewasa dimulai, saya justru malah semakin merasa putus asa. Saya malah ingin melompat dari atas sini lagi setelah berulang kali berjanji tidak melakukannya."
Kemudian kamu menyahut, "Jangan bunuh diri di laut, kamu akan berakhir seperti saya yang tidak dikenali jasadnya."
Saya kemudian terdiam. Napas saya tertahan, pikiran saya kemana-mana. "Kamu sudah mati?"
"Saya bunuh diri disini, tepat dari atas bukit ini lalu terjun bebas tenggelam di laut sana," kata kamu, membuat saya tidak berani menghembuskan napas yang daritadi saya tahan.
"Tidak—tidak mungkin, saya tidak bisa melihat hantu, tidak mungkin kamu sudah mati."
Kamu menggaruk tengkuk, bisa-bisanya tertawa melihat saya. Saya semakin sesak, setiap kata-kata yang kamu katakan mendadak menjadi sebuah luka. "Ya, terserah kamu ingin percaya atau tidak. Hanya saja, jangan pernah mencoba untuk membunuh diri lagi. Jangan pernah tenggelam dalam rasa penyesalan karena kamu berhak untuk bahagia terlepas dari banyaknya luka yang kamu terima. Kamu sudah banyak menerima luka, kamu juga harus menerima hadiah dari Tuhan untuk itu. Karena hidup hanya perihal menerima luka dan diberi imbalan berupa kebahagiaan. Tidak adil rasanya jika kamu tidak menerima imbalannya, bukan?"
"Lalu dengan kamu?"
"Saya? Saya sudah diberi imbalan berupa adik manis yang harus saya jaga, saya malah meninggalkannya. Jangan seperti itu, ya."
Saya tidak menyadari air mata saya mengalir sendirinya ketika kalimat tersebut kamu katakan dengan begitu hangatnya. Saya merasa tidak adil, saya merasa kecewa pada takdir karena baru mempertemukan kita di waktu setelah kamu sudah tiada. Saya merasa sedih karena tidak bisa menjadi seseorang yang dapat menguatkanmu dan membuatmu bertahan. Saya dipenuhi rasa sakit lagi setelah melihat kamu mulai memudar sebelum mengatakan hal terakhir padaku, "Selamat ulang tahun ke tujuh belas, Nara."
Kamu benar-benar pergi meninggalkan saya sendiri.
Setelah itu saya hanya sesekali mengunjungi bukit, saya menjalani kehidupan saya dengan baik, saya juga menemukan adikmu yang nyatanya sudah besar dan tumbuh dengan baik jauh dari apa yang kamu khawatirkan.
Saya sesekali mencoba untuk tertawa.
Saya sesekali mencoba berbicara dengan nada yang tak lagi kaku.
Saya tidak lagi berkeluh kepada laut melainkan kamu.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin