“Hei, apa itu dewasa? Apakah itu menyenangkan?”
Pertanyaan yang terlontar dari mulut mungil anak perempuan itu sukses membuat lawan bicaranya tersenyum lebar. Netra cokelatnya yang diselimuti kabut kebosanan berkilau kembali. Wajahnya seolah mengatakan bahwa ia menunggu seseorang untuk menanyakan hal ini.
“Kudengar, menjadi dewasa itu menyenangkan! Kita bisa melakukan apa pun yang kita inginkan. Kita bisa tidur melewati pukul sembilan, kita bisa bermain sepuasnya, dan masih banyak lagi. Bukankah itu menyenangkan, Aya?” balasnya, hanya dengan sekali napas.
Mata Aya berbinar. Pipi bulatnya memerah penuh antusiasme. Ia berkata,“Hebat sekali! Aku ingin cepat menjadi dewasa. Ngomong-ngomong, orang dewasa itu seperti apa, Ran? Di sini kan, hanya ada anak-anak.”
“Orang dewasa itu tinggi seperti pohon dan kuat seperti kerbau. Mereka bisa masuk ke perut makhluk yang mengeluarkan asap, lalu mengendalikannya untuk berpergian. Ada juga model makhluk keras yang mirip seperti burung. Kau tahu, mereka masuk ke perut makhluk itu juga! Lalu, mereka menerbangkannya. Aneh, ya? Mengapa mereka tidak berteleportasi saja? Atau menunggangi unicorn melintasi pelangi?”
Aya mengangguk menyetujui, “Aneh sekali. Apakah mereka tidak bisa terbang? Apakah makhluk itu memakan awan permen kapas itu? Kuharap tidak! Aku tak ingin kehabisan permen kapas.”
“Tidak tahu. Segalanya tentang orang dewasa terdengar menakjubkan, ya. Ketika aku dewasa, aku akan melakukan segalanya! Aku bisa bermain sepuasnya tanpa mengingat jam tidur.”
“Ayo kita cepat-cepat dewasa!”
“Ayo!”
Semburat jingga di langit menandakan waktu sang mentari untuk beristirahat. Aya dan Ran yang berlarian sembari berpura-pura menjadi dewasa di padang rumput berlatarkan mentari terbenam tampak seperti potongan film yang sempurna. Penuh kepolosan, keceriaan, dan tawa.
Hangat dan lembut seperti roti yang baru keluar dari oven, itulah mereka.
“Aya, jangan bicarakan hal itu!”
Aya mengerutkan keningnya, bingung, “Mengapa? Bukankah dewasa itu terdengar menyenangkan?”
Anak perempuan bersurai hitam legam itu, Ara, bergidik. Tangan mungilnya memeluk tubuhnya yang gemetaran. Ia menatap sekeliling, seolah memastikan bahwa tak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka. Aya tak tahu alasan mengapa Ara tampak ketakutan seperti ini.
Helaan napas lega keluar dari bibirnya. Ara berbisik pelan, “Dewasa itu … mengerikan!”
“Mengerikan? Apa maksudmu?” Pikiran Aya dipenuhi tanda tanya. Kemarin, Ran berkata bahwa dewasa itu menyenangkan. Namun, mengapa menurut Ara, dewasa itu mengerikan?
“Orang dewasa itu mengerikan. Mereka tak menyukai anak kecil. Ah, tidak. Mereka membencinya! Mereka akan selalu menyakiti kita. Orang dewasa akan memarahi anak-anak jika kita tidak bertindak sesuai sesuai keinginan mereka. Bahkan, terkadang mereka menghukum kita.”
“Tapi di sini kan, tidak ada orang dewasa. Mereka takkan bisa menyakiti kita, bukan?”
“Aya, jangan bilang, kau tak tahu tentang hal itu?”
“Hal itu? Apa maksudmu?” Aya semakin merasa kebingungan. Tatapan mata Ara sangatlah aneh, seolah Aya tak mengetahui sesuatu yang merupakan pengetahuan umum. Hal apa yang dimaksud Ara? Aya mengerucutkan bibirnya, berpikir.
“Saat ini, memang, tak ada orang dewasa yang akan mengganggu kita. Namun, suatu saat nanti, kita semua akan pergi dari sini. Di luar sana, banyak orang dewasa yang jahat. Tak hanya memarahi kita, mereka juga bisa melakukan banyak hal jahat kepada kita.”
“Hal jahat seperti apa?”
“Salah satunya, penculikan! Penculikan itu mencuri anak-anak, lalu disembunyikan. Kita bisa bebas dengan tebusan, tentu saja. Namun, bisa saja kita takkan bebas selamanya. Kita bisa mati, atau lebih buruk, dijual! Jika kita dijual, kita harus bekerja selamanya. Kita tak bisa bermain bebas lagi. Bagaimana rasanya menjadi seperti itu?
“Kita bisa berteleportasi, kan? Atau memanggil pahlawan melindungi kita. Itu mudah!”
“Tidak bisa! Jika kita pergi, kita bisa kehilangan kemampuan kita. Kita tak bisa berteleportasi, kita tak bisa menunggangi unicorn, kita tak bisa menggunakan sihir, kita juga tak bisa memanggil pahlawan. Dan satu lagi, jika kita pergi, kita tak bisa kembali lagi. Kita akan kehilangan memori tentang tempat ini.”
“Menjadi dewasa juga tak kalah mengerikan. Jika kita dewasa, kita harus bekerja untuk mendapatkan uang. Jika kita tidak punya uang, kita tidak bisa hidup. Lalu, orang-orang juga tak bisa dipercaya. Mereka bisa mengkhianati kita kapan saja. Entah demi uang, cinta, dendam, sekadar bosan, atau lainnya. Aku tak ingin menjadi dewasa.”
Aya terkesiap, “Mengerikan sekali! Sekarang rasanya, dewasa itu menakutkan. Aku tak ingin pergi dari sini. Ara, bagaimana caranya agar kita menjadi anak-anak selamanya?”
“Tidak ada! Kita akan dipaksa pergi meski kita tak menginginkannya. Ingatan kita tentang tempat ini akan dihapus. Jadi, kau paham, kan? Jangan bicara tentang dewasa lagi!”
“Ran bilang, dewasa itu menyenangkan. Ara bilang, dewasa itu mengerikan. Aku bingung sekali. Bagaimana menurutmu, Runa?”
“Tentu bukan keduanya. Dewasa itu membosankan,” ucap Runa sembari menatap kuku-kukunya, tak tertarik.
“Membosankan? Apa maksudmu?”
Runa menolehkan kepalanya. Netra kelabunya menatap Aya dengan dalam. Ia berkata, “Dewasa itu membosankan. Kita bangun, mandi, makan, bekerja, pulang, mandi, makan tidur. Ulangi itu. Kita tak bisa menggunakan kemampuan, kita harus menaati hukum yang lebih berat dibanding di sini, kita tak bisa mengganggu orang lain, kita harus memikirkan uang, dan lainnya. Itu membosankan.”
“Begitu kah?”
“Ya. Kita tak memiliki waktu bermain dan bersantai sebanyak ketika kita masih anak-anak. Kita harus bekerja. Hidup juga seperti itu saja. Mengikuti rutinitas yang sama setiap hari, membosankan sekali.”
Runa menatap wajah Aya yang tampak cemas. Ia tertawa kecil, lalu menepuk kepala Aya pelan.
“Tak usah cemas. Lagipula, waktu kita masih lama. Jalan untuk menjadi dewasa belum terbuka untuk kita. Sekarang, kita masih bisa bersenang-senang dan bersikap kekanak-kanakan sepuasnya.”
“Jalan untuk menjadi dewasa?”
“Suatu saat nanti, kita akan menempuh perjalanan untuk menjadi dewasa. Jalannya berbeda-beda bagi setiap orang. Ada juga yang melewatinya pada usia yang jauh lebih awal. Jalan tersebut berbeda bagi masing-masing orang. Ada yang lurus, ada yang berliku. Ada yang panjang, ada yang pendek. Ada yang penuh rintangan, ada yang mulus. Nah, bagaimana? Puas?”
Aya mengangguk.
“Sudah jam 4, aku ada janji dengan Ran. Aku pergi dulu.”
Setelah kepergian Runa, Aya termenung. Kata Ran, dewasa itu menyenangkan. Kata Ara, dewasa itu mengerikan. Kata Runa, dewasa itu membosankan. Manakah yang benar, Aya tak tahu. Satu hal yang pasti, ia akan mengetahuinya dalam perjalanan panjang menuju kedewasaan. Jalan yang berliku atau pun lurus, berduri atau pun diselimuti mawar, Aya akan menghadapinya.
selesai
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin