why (only) me - jacinda.

13 2 0
                                    

"Dikucilkan teman sendiri, lebih suka untuk tidak peduli pada masalah orang lain, tidak peduli dengan ucapan buruk mereka, menyembunyikan perasaan sebenarnya dan memiliki tujuan juga keinginan di masa depan. Aku merasakannya," kata Cinda.

~
Hari ini, pembagian rapor dilakukan. Seperti biasa, rapor Jacinda diambil oleh Ibunya. Jacinda Rizki, atau biasa dipanggil Cinda adalah siswa kelas 8 di Smp di kotanya. Dia akan masuk ke kelas 9 dan bertemu dengan teman baru. "Mama ngambil rapor sekarang, ya?" tanya Ibunya pada Cinda di pagi hari. "Ya, Mama tinggal ke aula seperti biasa. Jesi akan berangkat bersama Mama," jawabnya yang kemudian menuju ke kamar mandi.

Setelah mandi, mereka berdua berangkat bersama. Sesampainya di sana, Cinda melihat ke arah temannya. Dengan tatapan melas, dia masih melihatnya. "Kenapa? Ayo masuk," ajak Ibunya. Mereka pun masuk bersama, saat berada di depan aula Cinda mengatakan, "Jesi tunggu di sini. Setelah Mama selesai, baru masuk ke kelas."

Ibunya masuk, dan Cinda menunggu.

Di luar, Dia berkumpul dengan 4 temannya. Mereka saling bertanya kabar.

"Hai. Wah kita bentar lagi lulus. Pisah, Aku tidak membayangkan itu. Haha," kata Kiran. "Ah iya, kita masih bisa berkomunikasi gak ya? Kenapa waktu cepat berlalu," jawab Tiara. Mereka bicara bersama, kecuali Cinda. Dia duduk di ujung kursi, samping Kiran. Tapi, dari 5 orang yang duduk di tempat yang sama, hanya Cinda yang diasingkan. Seakan Dia tidak di sana. "Ternyata ada Jacinda di sini. Kenapa Aku tidak menyadarinya dari awal," ucap Dita setelah cukup lama mereka bicara bersama. "Ah, Aku juga. Aku juga baru menyadarinya, padahal Dia di sampingku dari tadi," sahut Kiran terkejut. "Tidak. Lanjutkan saja pembicaraan kalian, jangan memikirkan (abaikan) Aku," tegas Cinda disertai senyumnya.

"Tapi, bagaimana bisa kamu tidak menyadari keberadanku padahal dirimu melihat ke arahku. Aku yakin itu," lontar Cinda. "I-itu, Aku kira kamu adalah tas seseorang. Aku tidak sampai melihat ke wajahmu. Jadi maafkan Aku karena mengabaikanmu," jawab Kiran. "Aa gak papa, Aku cuman tanya. Sana, lanjutkan perbincangan kalian. Jangan khawatirkanku," balas Cinda.

"Daripada mengganggu, lebih baik Aku menjauh," batinnya yang kemudian pergi tanpa kata pada temannya yang lain. Di tempat lain, Cinda melihat Ibunya. "Jacinda, ya?" tanya Liona yang berada di belakang Cinda. "Iya, ada apa?" balasnya. "Maaf mengganggu, tapi Aku ingin bertanya padamu," lanjut Liona. "Katakan saja. Apa yang ingin ditanyakan?" urai Cinda. Liona berbisik pada Cinda dan berkata, "tidak di tempat seperti ini. Bagaimana kalo di kelas yang sepi?" Jacinda menurut perkataan Liona, mereka pergi ke kelas paling belakang dan sepi.

"Jadi, katakan apa yang ditanyakan olehmu?" desak Jacinda yang sudah duduk di bangku kelas sepi itu. Dengan canggung, Liona terlihat masih berpikir dua kali untuk mengatakan pertanyaannya itu. "Baiklah, tapi jangan di bawa ke hati," pesan Liona. Jacinda menggangguk kebingungan.

"Di mana Ayahmu? Aku sangat penasaran tentang itu," lontarnya. Jacinda langsung berdiri setelah mendengar pertanyaan Liona. "Apa ini, kenapa mempertanyakan keluarga orang? Kamu masih punya mereka 'kan? Bosan kah dengan mereka?" protes Cinda. "Maaf, Aku tidak memasukkannya ke hati, tapi ingat dengan pertanyaanmu itu. Semua orang punya batasan dan privasi masing-masing, jagalah ucapan dan pertanyaanmu itu," tegurnya. "Aku tau, Kamu gak usah jelasin semua itu padaku. Karena rasa penasaranku, Aku memberanikan diri untuk bertemu denganmu," balas Liona. Tanpa menjawab balasan Liona, Jacinda pergi dengan raut kesal.

Secara bersamaan, Dia bertemu dengan Ibunya yang sudah mengurus rapornya. "Apa Kamu tadi ke kelasmu?" tanya Ibunya. Raut kesal Jacinda hilang saat bertemu dengan Ibunya. "Iya, Ma. Kita pulang langsung aja. Kan Jesi udah selesai ke kelas untuk absen," jawabnya.

Sampai di rumah, Jacinda langsung masuk ke kamar. Dia meratapi nasibnya dan menangis tanpa suara. "Kenapa Aku? Di mana Ayahku. Kenapa hanya Aku yang tidak memilikinya, apa masalahnya, apa salahku?" batinnya yang sambil menangis. "Tok, tok, tok." Ibunya mengetuk pintu kamarnya. "Tidak mau tau nilaimu? Apa ada yang salah? Katakan pada Mama," panggilnya khawatir.

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang