Suara langkah kaki yang menyatu dengan suara decitan papan-papan lantai kudengar sepanjang aku melangkah. Lantai dua rumah kami sudah mulai sedikit berdebu karena sudah jarang didatangi dan dibersihkan. Aku menekan satu saklar lampu untuk menerangi jarak pandangku.
Mengedarkan pandangan, menatap seluruh isi lantai dua sebelum masuk kedalam sebuah ruangan adalah hal yang kulakukan. Setelah dirasa cukup, aku mulai memutar kenop pintu untuk masuk.
CTAK.
Satu lagi saklar lampu yang kutekan. Meski ruangan ini tak terlalu gelap akibat jendela yang dibiarkan terbuka. Aku menatap sekeliling. Menatap lukisan-lukisan sisa yang tak ku pisahkan untuk dibawa pergi. Lalu pandanganku tertuju pada satu lukisan yang tak terlalu besar, juga tak terlalu kecil. Aku memilih mendekati lukisan itu meski ada setitik rasa sedih yang mulai muncul dihatiku.
Sebuah lukisan tentang seorang anak perempuan bersama ayahnya yang sedang menatap langit berisi bintang-bintang. Terlihat indah, tetapi mengingatnya membuatku gundah. Warna-warnanya sudah tak secerah dulu, mungkin akibat kubiarkan begitu tanpa dibersihkan.
Aku menyentuh lukisan itu. Dan benar saja, debu mengotori tanganku. Rasanya aku ingin meminta maaf. Bukan maksudku tidak ingin membersihkan atau mendatangi lantai dua ini seperti yang selalu kita lakukan dulu. Akan tetapi, terlalu sulit untukku mencoba membiasakan diri untuk pergi sendiri.
Bukankah biasanya kita selalu pergi ke lantai dua bersama, Ayah? Lantas kenapa kini kau seolah tak ingin lagi pergi bersamaku?
Pandanganku memburam, terhalangi oleh buliran air mata yang berlomba-lomba mencoba untuk keluar. Satu kedip saja, mereka sudah turun membasahi pipiku. Ini yang tak kusuka jika aku pergi kesini. Aku akan menangis, dan membuatku terlihat sangat cengeng. Terlalu banyak kenangan yang tiba-tiba aku ingat, memaksaku untuk sadar bahwa kita tak akan bisa melakukan hal itu bersama-sama lagi.
Hidupku kini terlalu sulit, Ayah. Putrimu ini masih membutuhkan tuntunan dari Ayahnya untuk terus menjalani hidup. Bahkan kau belum melihat putrimu ini berusia 17 tahun.
Biasanya kita akan mendiami lantai dua sebagai tempat pentas seni. Entah itu seni musik, atau seni lukis, seni bela diri pun kadang kita lakukan meski hasilnya akan di tegur Ibu karena membuat rumah bergetar.
Namun, itu tak akan lagi kita lakukan. Sejak malam itu. Malam yang seolah merenggut semesta ku. Ayah dikabarkan kecelakaan dan meninggal dunia. Ibu sangat sedih, ia bahkan nampak seperti kehilangan dirinya sendiri. Ia terus menangis, meraung-raung menyerukan namamu, Ayah.
Paman dan bibi, juga saudara-saudara kita yang lain berusaha menenangkannya, tetapi tak ada yang bisa menenangkannya. Kecuali kau, sang pujaan hatinya. Puncak orang tersayangnya. Namun, kau yang di tunggu datang, tak pernah datang lagi kepada kami.Aku ingin menangis, tetapi saat itu aku masih tidak mengerti. Pikiranku masih bingung. Dan tepat saat kau sudah menyatu dengan bumi, rasanya aku baru sadar. Bahwa cahayaku telah lenyap.
Kami sangat kehilanganmu. Nenek berulang kali bercerita tentang kebaikanmu, tentang betapa hebatnya menantunya. Dan entah berapa kali air mata kembali turun membasahi pipinya. Membuat suasana kembali canggung, mengenang masa-masa kau masih bersama kami.Ternyata, pengaruh mu sebesar ini ya. Rasanya aneh ketika aku kini dijuluki sebagai anak yang kehilangan Ayahnya.
Aku berjalan mendekati jendela yang terbuka. Membuat angin sepoi-sepoi menerbangkan sebagian anakan rambutku.
Disini indah, Ayah. Namun, kurang rasanya jika tak bersamamu.
Maka dari itu, ijinkan kami untuk merelakannya, ya? Mengikhlaskan kepergian mu.
Bukan untuk melupakanmu. Namun, untuk menata kembali hidup yang tampak berantakan akibat kehilanganmu. Kau akan selalu kami rindukan. Ayah akan selalu ada didalam hati putri kecilnya.
Ruangan penuh kenangan ini akan aku rindukan nantinya. Terlalu banyak yang terjadi disini. Atau mungkin, dinding-dinding ber-cat biru itu bagaikan saksi bisu aku tumbuh dalam kasih sayangmu. Nanti akan kuceritakan lagi kisah kita yang kusimpan erat, tentang seorang pahlawan si gadis kecil. Tentang aku, Ayah, dan kita yang berjuang menjalani takdir dunia.
"RADENN!"
Teriakan Ibu membuatku berbalik menatap pintu. Dengan buru-buru aku menutup jendela yang terbuka dan hendak pergi dari ruangan itu. Namun, sebelum aku benar-benar keluar, aku berbalik kembali dan mengambil lukisan ayah dan anak itu. Kuputuskan untuk membawanya saja.
Ayah, kini lihatlah putri kecilmu ini yang terus bertumbuh kembang diatas sana. Terus perhatikan aku meski kini jarak antara kita sangat jauh. Setidaknya, aku masih di perhatikan olehmu meski tak kurasa.
Kini aku akan pergi, kembali menjalani sesuatu yang sempat terhenti.
_Pintu kini tertutup, sedikit mengguncangkan sebuah papan nama yang menggantung disana._
_'Raden Ajeng Ayundala & Ayah'_
Selesai
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Dewasa
Short Story❝ topeng orang dewasa disebut 'pengalaman' ❞ - walter benjamin