hanya putus asa - angel.

620 16 0
                                    

Teriakan Dewa Zeus yang tengah memainkan tongkatnya mendominasi kepala. Jalanan berubah menjadi genangan pesta makan para gagak. Pohon berayun-ayun, membuat belaian agar mata terpejam menutup lembar kehidupan. Syal yang mengikat leher mulai melayang-layang, tak sanggup menahan hempasan angin yang kurang ajar. Tetesan air mata dari awan yang merengek mengenai kepala secara perlahan. Sebuah hela napas terdengar, itu suara yang aku ciptakan. Ayunan daun terlihat, berlagak menari seperti penari balet di malam pergantian tahun. Kebisingan tidak terdengar, hanya suara desahan dari bibir yang ditangkap telinga. Menghitung mundur angka-angka yang diciptakan kepala kembali, sudah waktunya bulan tidur, sebab si mentari akan segera memakai dasi untuk bekerja menyinari. Desember penuh tragis mungkin akan jadi penutup yang elok untuk tahun kusam ini.

Memegang kepala yang hampir kehilangan pelindung, topi rajut yang baru dibuat kemarin dengan susah payah sampai banyak darah yang keluar (aku tidak masalah dengan luka, tetapi hilang karena angin itu buruk). Kepalaku mulai berat, seperti memerintahkan kaki untuk bangkit masuk ke dalam rumah, seolah memaksa sampai membuat denyutan menyakitkan. Melirik sekilas jendela yang tiba-tiba mengamuk, kupikir ia kesal karena si angin mencumbu secara paksa, membuatnya terhempas hingga menimbulkan hawa dingin di ruangan yang terbuka itu. Sekon berikutnya aku tertawa kecil. Ah, ruangan yang tengah diamuk massal itu adalah kamarku, pantas saja malang.

Ruangan bernuansa rumah sakit itu cocok sekali mendapatkan masalah. Yah, sudah langganan, sih. Wajar saja mereka perlu repot merasakan penderitaan, padahal mereka mati. Benda mati. Huru hara agaknya akan datang sebentar lagi, sebab pagi sudah memakai perlengkapan mereka untuk membuka hari baru di lembaran kehidupan yang tertulis di tangan takdir. Akan tetapi, langit masih belum memunculkan secercah cahaya, tidak mungkin mereka lupa menyalakan lampu untuk pergantian hari, bukan? Ah, andai saja aku ini akar pohon yang berguna bagi kehidupan, mungkin lebih baik dibanding menjadi rongsokan yang diabaikan. Namun, tidak ada gunanya mengeluh, kata mereka, lebih baik berusaha, mereka seolah memerintahkan. Berisik sekali mulut-mulut lebar mereka, terlihat seperti lubang besar yang siap menyedot diriku jika melirik bibir mereka yang bicara menghakimi.

Seekor burung seolah meneriaki diri dari atas pohon, mungkin ini rumahnya, tetapi pohon ini berada di depan rumahku, seenaknya saja dia membangun rumah di tempat yang bukan miliknya. Apa perlu aku keluarkan harga sewa?

Baru sejengkal aku mencoba tertawa dengan pemikiran kepala yang bodoh, tiba-tiba saja sebuah dering panggilan membuat jantung hampir kehilangan keseimbangan. Tertulis Papa. Ragu mengangkat, ragu juga mengabaikan. Pilihan paling serasi setelah otak mondar-mandir mencari kepastian di menit akhir, aku mengangkat panggilan tersebut. Suaranya terdengar, kami bicara beberapa hal penting juga tidak penting. Lalu, diakhiri dengan salam sampai jumpa darinya.

Jikalau aku bangkit dan berjalan di atas mayat-mayat burung bekas pembantaian kemarin, apa sepatuku akan kotor? Warnanya putih, mencolok sekali jika terkena merah. Mungkin sudah dibersihkan oleh petugas kebersihan kepala ketika aku terlelap semalam, semoga saja tidak ada bekas yang menghantui lagi. Amukan Zeus, oh, apa hanya main-main saja? Mungkin ia sedang bosan di Gunung Olympus, makanya menjatuhi petir yang menyambar penuh sumpah serapah semalam. Bodohnya, aku justru terbangun, berjalan keluar rumah untuk duduk diam di bawah pohon, sembari membawa buku di pelukan. Belum selesai dibaca, semalam mataku hilang tiba-tiba. Saat membuka tirai penglihatan kembali, tahu-tahu ingin pergi ke bawah pohon saja, begitu ceritanya.

Baik, baik, otak ini sudah memerintahkan tubuh untuk pergi ke tempat itu segera.

Singkatnya aku kembali. Malas menjelaskan apa yang terjadi hari ini, aku hanya menghabiskan waktu. Menghabiskan saja. Sebab, aku ingin segera bertemu dengan bulan, bicara lagi padanya. Lalu, tahu-tahu saja aku berada di atas kasur dengan raut wajah penuh luka. Ah, ya, aku habis terguling di tangga saat hendak mencari novel di salah satu mall. Tidak memalukan, justru menyebalkan karena aku tidak pingsan. Hanya memar yang dibawa pulang, novelnya lupa kucari sebab sudah terlalu kesal terjatuh.

Perjalanan Menuju DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang